26 Januari 2008

HABITUS (?) NYAMPAH: Sebuah Refleksi [1]

Sampah, selain polusi udara dan rendahnya mutu air, adalah masalah dalam konteks lingkungan hidup di perkotaan. Karena praktis menjadi masalah dimana-mana, bisa dikatakan bahwa sampah telah menjadi sebuah fenomena kemanusiaan universal. Bahkan, bisa pula dikatakan bahwa sampah adalah salah satu bagian hakiki dari kemanusiaan itu. Setiap orang mengenal dan memproduksi sampah. Sampah tidak mengenal kebangsaan, tidak mengenal kesukuan, tidak mengenal agama, tidak mengenal usia, dan juga tak kenal perbedaan gender. Jika demikian, pantaslah dicermati mengapa sikap manusia terhadap sampah bisa berbeda dari satu tempat ke tempat lain. Dalam konteks masyarakat Indonesia, pada umumnya sikap orang Indonesia terhadap sampah, baik di pedesaan maupun perkotaan, masih sangat tradisional. Dalam bahasa Thukul Arwana, dalam acara Empat Mata-nya, sikap dan perilaku masyarakat Indonesia terhadap sampah masih katro’ atau ndeso atau kampungan!

Nyampah dan Katro’

Kata katro’ seolah muncul ex nihillo, dari ketiadaan. Etimologinya tidak terlalu jelas. Sejauh bisa diingat, kata katro’ adalah sebuah slank dalam pergaulan anak muda sehari-hari di sekitar Jawa Tengah. Yang mau diungkapkan adalah sikap dan perilaku yang kurang pada tempatnya. Lebih dari itu, kata katro,’ khususnya dalam konteks sampah tadi, tidak sekedar menunjuk pada sebuah kesopanan yang artifisial, tidak pula menunjuk suatu lokalitas (asal-muasal geografis), melainkan menunjuk pada suatu sikap. Sikap yang dimaksud adalah sikap tidak peduli atau tidak mau tahu terhadap orang lain atau terhadap kebersamaan (hidup bersama), dalam konteks keterbatasan ruang, keterbatasan waktu maupun keterbatasan sumber-daya dan dana. Dalam hal ini, konteks keterbatasan penting digaris-bawahi.

Sikap katro’ berkaitan dengan keterbatasan ruang tampak antara lain perilaku di jalanan Jakarta. Mobil dan motor saling serobot dan tidak peduli pada rambu lalu-lintas. Ada pula yang suka berhenti sembarangan. Yang akhir-akhir ini juga makin menggejala adalah kebiasaan menerima telepon (melalui telepon genggam atau HP) sambil naik motor. Tampak disitu bagaimana kepekaan pada terbatasnya ruang nyaris tidak ada. Perilaku ini bisa disebut katro’ atau ndeso karena mungkin saja di desa jalanan masih lengang sehingga berjalan zig-zag pun tidak akan banyak mengganggu orang lain. Di ruang jalanan yang masih lengang tentu saja tak dibutuhkan rambu lalu-lintas. Perlu dingat, rambu lalu-lintas, seperti aturan pada umumnya, diperlukan demi ketertiban, mengingat bahwa manusia pada dasarnya memang mau enaknya sendiri. Disinilah, menerapkan cara berperilaku di desa dalam konteks jalanan di kota bisa disebut ndeso atau katro’.

Demikian pun, budaya ngarèt bisa pula disebut katro’, karena mereka yang berbudaya atau berkebiasaan ngarèt ini tidak cukup sensitif pada keterbatasan waktu manusia modern. Dalam dunia yang tunggang-langgang (runaway world, dalam istilah Giddens), waktu memang sangat terbatas. Budaya atau tepatnya kebiasaan tepat waktu menjadi sangat penting demi ketertiban hidup bersama. Hal ini tentu saja berbeda dengan situasi masa lalu dimana waktu masih longgar, kesibukan orang masih relatif sedikit, sehingga waktu hanya ditakik dalam kategori pagi, siang, sore dan malam. Takikan waktu dalam jam, menit, dan detik sangat berkaitan dengan makin terbatasnya waktu itu. Kebiasaan ngarèt lalu masuk dalam kategori katro’.

Selanjutnya, katro’ dalam konteks keterbatasan sumber-daya antara lain tampak dalam penghambur-hamburan air. Saat ini, khususnya di perkotaan, air sudah menjadi barang mahal. Meski begitu, tak jarang masih ditemui perilaku orang yang tidak peduli dengan keterbatasan air ini. Tarif air PAM yang progresif tentu berkaitan dengan masih banyaknya orang yang katro’ dalam hal air. Contoh lain yang sejajar dengan air adalah listrik. Maksudnya, orang yang tidak mematikan lampu atau AC kamarnya meski ditinggal pergi pada dasarnya bisa juga disebut katro’.

Lalu, bagaimana dengan kebiasaan nyampah? Nyampah yang dimaksud disini adalah membuang sampah sembarangan. Ini pun gejala cukup umum, sehingga dikenal istilah NIMBY syndrome (Not In My Back Yard syndrome: terserah mau buang sampah di mana pun, asal tidak di halaman rumahku). Di Indonesia, khususnya di kota, antara lain Jakarta, hal itu tampak sangat jelas. Dari istilahnya sudah jelas bahwa nyampah masuk kategori katro’, karena kentalnya unsur ketidak-pedulian pada sesama dan kehidupan bersama. Selain itu, yang juga kentara adalah ketidak-pedulian terhadap keterbatasan ruang dalam menampung sampah yang ada.

Perlu dicatat bahwa keterbatasan ruang ini, khususnya di perkotaan, dalam kaitan dengan sampah, pun makin nyata karena tiga hal. Pertama, ruang geografis untuk menampung sampah memang makin sempit karena lahan lebih dimanfaatkan untuk usaha lain yang dipandang lebih produktif. Kedua, jumlah sampah juga makin besar. Semakin ’modern’ suatu masyarakat, semakin banyak pula sampah yang dihasilkan. Dengan kata lain, jumlah sampah berbanding lurus dengan modernitas masyarakat.1) Ketiga, jenis sampah jaman sekarang juga sudah berbeda dengan sampah jaman dulu, khususnya dalam ke-’awet’-annya. Maksudnya, sampah di jaman ini jauh lebih sukar hancur daripada sampah pada masa lalu. Plastik dan stereoform adalah dua contoh produk manusia yang tidak mudah hancur di tanah. Menurut penyelidikan, kantong plastik tipis itu butuh waktu kira-kira 400 tahun untuk bisa hancur menjadi tanah. Hal inilah yang menjadikan ruang geografis makin terbatas dalam kaitannya dengan sampah.

Yang kemudian juga menjadi pertanyaan adalah: mengapa banyak orang katro’ atau tidak mau peduli? Dari pengamatan terhadap kebiasaan nyampah dan juga kebiasaan-kebiasaan katro’ lain di tengah masyarakat, tampak adanya tiga sifat dasar manusia yang menonjol. Pertama, manusia itu mau mencari enak, dan bahkan mencari enaknya sendiri.2) Ketidakpedulian yang menjadi esensi katro’ adalah kenampakan paling kongkret dari sifat egoistis ini. Nimby syndrome dalam konteks sampah menjadi makin memperjelas hal itu. Kedua, masih berkaitan erat dengan ciri pertama, manusia itu malas atau tidak mau repot.3) Dalam konteks sampah, keengganan orang mencari tempat sampah, atau ’menyimpan’ sampah sampai menemukan tempat sampah, lalu membuangnya di sembarang tempat adalah cerminan kemalasan atau tidak mau repotnya manusia. Dalam hal ini, kebiasaan dilayani, baik oleh pembantu/pelayan maupun petugas khusus kebersihan, menambah besarnya kemalasan itu. Ketiga, kebanyakan manusia juga pelupa. Meski sudah berkali-kali diingatkan dan upaya penyadaran sudah dilakukan, tetap saja manusia perlu diingatkan. 4) Tulisan ’jagalah kebersihan,’ atau ’kebersihan adalah sebagian dari iman,’ atau ’jangan buang sampah disini’ sudah bertebaran dimana-mana, tetapi tidak terlalu diingat oleh kebanyakan orang.

--------

Catatan kaki.

1) Sebagai contoh, menurut Data Dinas Kebersihan DKI Jakarta tahun 2005, diperkirakan ada 25.632 m3 (atau kira-kira 8000 ton) sampah, dengan pengandaian per-orang memproduksi sampah 2,67 liter sampah per hari. Lihat http://www.kebersihandki.com/dinas/index.php?option=com_staticxt&staticfile= isi%20volume.htm, diakses 11 Mei 2007 jam 09.45.

2) Hal ini juga kentara dalam slogan-slogan yang diusung oleh banyak iklan, tidak hanya untuk makanan, yang mencantumkan kata enak atau nikmat. Akar utilitarisme J. Bentham maupun J. S. Mill pun secara cukup eksplisit melihat bahwa manusia itu mencari enak dan menghindari sakit, dan dalam hal ini akarnya bisa ditarik sampai ke pemikiran Epicurus, filsuf Yunani yang hidup pada abad ketiga sebelum Masehi.

3) Fenomena perkembangan pesat teknologi pada dasarnya pun tidak bisa dilepaskan dari pengandaian anthropologis bahwa manusia sebenarnya malas atau tidak mau repot. Justru karena tidak mau repot itulah manusia menciptakan alat-alat bantu yang mempermudah hidupnya.

4) Sejajar dengan teknologi yang terkait dengan kemalasan manusia, banyak teknologi pun terkait dengan ke-pelupa-an manusia. Jika manusia mempunyai memory yang tak terbatas, tentulah kalkulator dan komputer tidak bisa berkembang sehebat sekarang ini.

Tidak ada komentar: