26 Januari 2008

HABITUS (?) NYAMPAH: Sebuah Refleksi [4] habis

Parameter Kemajuan Sosial

Jika dipahami bahwa dunia ini makin terbatas, dalam dimensi ruang maupun waktunya, tentulah habitus, sebagai sikap dan perilaku sosial, yang sesuai dengan keterbatasan itu menjadi sebuah keniscayaan. Tanpa habitus, yang ada adalah kekacauan. Kesemrawutan dan kemacetan lalu-lintas di Jakarta adalah salah satu cermin yang mencolok. Demikian pula dalam pembentukan habitus yang berkaitan dengan sampah: menaruh dan memilahnya dengan tepat.

Dapatlah dikatakan bahwa lahirnya habitus baru seharusnya seiring dengan perkembangan jaman. Itu pun berarti bahwa lahirnya habitus yang sesuai jaman, tidak katro’, adalah salah satu tolok ukur kemajuan sosial dari sebuah masyarakat. Dalam kaitan dengan sampah, ukuran ini lebih mendapatkan pendasarannya. Seperti dikatakan di atas, sampah adalah salah satu persoalan fundamental manusia. Tiadanya sikap, perilaku dan manajemen yang ‘modern’ terhadap sampah, mencerminkan sikap dan pandangan masyarakat itu terhadap hidup masing-masing individu dan terhadap hidup bersama. Jika perkara sampah yang sangat sederhana dan sehari-hari saja orang masih katro’, sulit dibayangkan bagaimana bidang kehidupan lain dalam kehidupan sosial bisa tertata dengan baik.

Dari paparan di atas pun cukup jelas bahwa lahirnya habitus adalah sebuah proyek bersama. Karena itu pula, tak berlebihanlah kalau dikatakan bahwa habitus adalah parameter kemajuan hidup bersama Seluruh poros kehidupan sosial masyarakat terlibat di dalamnya.. Pembentukan habitus, yang lebih bersifat evolutif daripada revolutif, memang akan dijalankan pertama-tama oleh masyarakat warga, tetapi jelas bukan hanya tanggung-jawab pada tokoh agama, misalnya, karena habitus bukan sekedar kesadaran. Kesadaran penting, tetapi harus didukung oleh pendekatan yang lebih bersifat struktural dan juga ‘ekonomis.’ Tanpa pihak pemerintah (poros negara) membuat aturan atau hukum dan juga tegas menjalankannya, habitus akan sangat sulit terlahir. Demikian pun, para pemilik modal (poros pasar), perlu ikut berperan aktif, baik dengan menyediakan sarana-prasarana maupun dengan lebih mengatur ‘produk’ sampahnya.

Akhirnya, dari paparan di atas pula, apa yang bisa dijawab atas pertanyaan di awal tulisan ini: mengapa perilaku orang dalam kaitan dengan sampah bisa berbeda-beda? Jika berpijak pada kesimpulan bahwa individu manusia pada dasarnya adalah egosentris, malas, tidak mau repot dan pelupa, faktor struktur kehidupan sosial yang dibuat untuk melengkapi kekurangan manusia itu menjadi sangat menentukan. Dengan kata lain, jika bercermin dari masih katro’-nya sikap dan perilaku kita terhadap sampah, tiadanya struktur yang mendukung lahirnya habitus yang baik dalam kaitan dengan sampah bisa dipersalahkan. Ujung-ujungnya, kita memang bisa menunjukkan telunjuk pada kurangnya visi kepemimpinan dalam masyarakat. Meski begitu, karena habitus adalah perilaku individu, setiap warga masyarakat pun tidak luput dari tanggung-jawab. Tanpa keterlibatan semua pihak, yang dipandu oleh pemimpin yang visioner, bangsa ini akan tetap menjadi bangsa katro’! ***

*) Penulis adalah staf pengajar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta dan penggiat Gerakan Hidup Bersih dan Sehat (yang sedang berfokus pada kepedulian terhadap sampah) di Jakarta.

Tidak ada komentar: