26 Januari 2008

HABITUS (?) NYAMPAH: Sebuah Refleksi [4] habis

Parameter Kemajuan Sosial

Jika dipahami bahwa dunia ini makin terbatas, dalam dimensi ruang maupun waktunya, tentulah habitus, sebagai sikap dan perilaku sosial, yang sesuai dengan keterbatasan itu menjadi sebuah keniscayaan. Tanpa habitus, yang ada adalah kekacauan. Kesemrawutan dan kemacetan lalu-lintas di Jakarta adalah salah satu cermin yang mencolok. Demikian pula dalam pembentukan habitus yang berkaitan dengan sampah: menaruh dan memilahnya dengan tepat.

Dapatlah dikatakan bahwa lahirnya habitus baru seharusnya seiring dengan perkembangan jaman. Itu pun berarti bahwa lahirnya habitus yang sesuai jaman, tidak katro’, adalah salah satu tolok ukur kemajuan sosial dari sebuah masyarakat. Dalam kaitan dengan sampah, ukuran ini lebih mendapatkan pendasarannya. Seperti dikatakan di atas, sampah adalah salah satu persoalan fundamental manusia. Tiadanya sikap, perilaku dan manajemen yang ‘modern’ terhadap sampah, mencerminkan sikap dan pandangan masyarakat itu terhadap hidup masing-masing individu dan terhadap hidup bersama. Jika perkara sampah yang sangat sederhana dan sehari-hari saja orang masih katro’, sulit dibayangkan bagaimana bidang kehidupan lain dalam kehidupan sosial bisa tertata dengan baik.

Dari paparan di atas pun cukup jelas bahwa lahirnya habitus adalah sebuah proyek bersama. Karena itu pula, tak berlebihanlah kalau dikatakan bahwa habitus adalah parameter kemajuan hidup bersama Seluruh poros kehidupan sosial masyarakat terlibat di dalamnya.. Pembentukan habitus, yang lebih bersifat evolutif daripada revolutif, memang akan dijalankan pertama-tama oleh masyarakat warga, tetapi jelas bukan hanya tanggung-jawab pada tokoh agama, misalnya, karena habitus bukan sekedar kesadaran. Kesadaran penting, tetapi harus didukung oleh pendekatan yang lebih bersifat struktural dan juga ‘ekonomis.’ Tanpa pihak pemerintah (poros negara) membuat aturan atau hukum dan juga tegas menjalankannya, habitus akan sangat sulit terlahir. Demikian pun, para pemilik modal (poros pasar), perlu ikut berperan aktif, baik dengan menyediakan sarana-prasarana maupun dengan lebih mengatur ‘produk’ sampahnya.

Akhirnya, dari paparan di atas pula, apa yang bisa dijawab atas pertanyaan di awal tulisan ini: mengapa perilaku orang dalam kaitan dengan sampah bisa berbeda-beda? Jika berpijak pada kesimpulan bahwa individu manusia pada dasarnya adalah egosentris, malas, tidak mau repot dan pelupa, faktor struktur kehidupan sosial yang dibuat untuk melengkapi kekurangan manusia itu menjadi sangat menentukan. Dengan kata lain, jika bercermin dari masih katro’-nya sikap dan perilaku kita terhadap sampah, tiadanya struktur yang mendukung lahirnya habitus yang baik dalam kaitan dengan sampah bisa dipersalahkan. Ujung-ujungnya, kita memang bisa menunjukkan telunjuk pada kurangnya visi kepemimpinan dalam masyarakat. Meski begitu, karena habitus adalah perilaku individu, setiap warga masyarakat pun tidak luput dari tanggung-jawab. Tanpa keterlibatan semua pihak, yang dipandu oleh pemimpin yang visioner, bangsa ini akan tetap menjadi bangsa katro’! ***

*) Penulis adalah staf pengajar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta dan penggiat Gerakan Hidup Bersih dan Sehat (yang sedang berfokus pada kepedulian terhadap sampah) di Jakarta.

HABITUS (?) NYAMPAH: Sebuah Refleksi [3]

Arti Penting Rekayasa Sosial

Dari uraian di atas, makin jelas bahwa kebiasaan katro’ atau kebiasaan negatif tidak bisa dikategorikan sebagai habitus. Jika kita perhatikan, habitus senantiasa mengandung dimensi sosial atau kebersamaan hidup yang kental. Dalam kasus kebiasaan katro’, hal itu tidak tampak, atau malah sebaliknya. Jika nyampah dijadikan contoh, meski hal ini dilakukan oleh banyak orang, motivasi yang mendasarinya adalah kepentingan diri, bukan kepentingan bersama. Pun, secara implisit dikatakan bahwa habitus dibentuk dengan pembelajaran yang lama. Dalam hal ini, kebiasaan nyampah tidak memerlukan pembelajaran yang lama. Spontanitas manusia adalah spontanitas tidak mau repot. Sementara itu, habitus pada awalnya dijalankan dengan keterpaksaan dan pengorbanan.

Persis di sinilah perubahan sosial yang akan berujung pada pembentukan habitus memerlukan sebuah rekayasa sosial. Ketiga kelemahan dasar manusia yang telah disebut di atas menjadi alasan mendasar dari pentingnya rekayasa sosial ini. Dengan kata lain, rekayasa sosial adalah keniscayaan, adalah conditio sine qua non. Dalam hal ini, rekayasa sosial tidak harus berarti negatif. Rekayasa sosial yang hampir selalu bersifat struktural adalah sarana bantu manusia untuk mengisi kekurangannya. Lembaga persekolahan, sebagai contoh, adalah sebuah rekayasa sosial, supaya orang mau (meski mula-mula terpaksa) untuk belajar. Pada dasarnya manusia itu malas. Hanya sedikit sekali yang bisa otodidak. Kelemahan dasar manusia itulah yang mau ’ditutup’ atau dilengkapi oleh struktur.

Dalam kasus nyampah, dari uraian di atas menjadi jelas bahwa tulisan-tulisan peringatan atau himbauan untuk tidak membuang sampah sembarangan tidaklah mencukupi untuk mengubah perilaku atau kebiasaan negatif itu. Tulisan peringatan hanya bersentuhan dengan satu sisi kelemahan manusia: pelupa. Masih ada dua lubang kelemahan lain, yaitu ego-sentrisme dan kemalasan. Berkaitan dengan ego-sentrisme, suatu bentuk pemaksaan, baik melalui struktur yang kelihatan (satpam/polisi, aparat kebersihan, dll.) maupun yang tak kelihatan (hukum/aturan), menjadi sarana formatif agar orang meminimalkan sifat ego-sentrismenya.[1) Kemudian, berkaitan dengan kemalasan, penciptaan sarana dan prasarana penunjang menjadi penting. Disediakannya tempat-tempat sampah yang lebih banyak jelas akan mengurangi kerepotan orang. Orang akan lebih mudah mengatasi kemalasannya. Selain itu, dalam prinsip Pavlov, metode ’stick’ ini pun bisa dilengkapi dengan metode ’carrot.’ Insentif yang diberikan pada orang-orang yang mampu melakukan habitus baru dari orang lain atau dari pemerintah tentu akan memperlancar pembentukan habitus itu.

Yang kemudian menjadi pertanyaan adalah apakah struktur yang ada tidak mencukupi bagi lahirnya habitus-habitus yang lebih memperlancar hidup bersama? Disini pulalah salah satu masalahnya. Struktur memang ada. Tanpa struktur masyarakat hidup dalam anarkhi. Hanya saja, tampaknya struktur itu lebih banyak berpihak pada kepentingan sebagian anggota masyarakat saja. Dengan kata lain, sebagian masyarakat lain, lebih-lebih orang kebanyakan dan orang kecil, tidak cukup tersapa oleh struktur yang ada. Mereka yang di-cuèk-i oleh struktur, sehingga mereka pun tak jarang menjadi cenderung cuèk terhadap orang lain atau kepentingan bersama. Selain itu, yang juga kerap terjadi adalah bahwa struktur tidak cukup mudah mengakomodasi inisiatif warga. Tak jarang pula inisiatif warga tergilas oleh struktur yang dipegang secara kaku oleh para birokrat. Bisa dipahami kalau kemudian terjadi yang namanya cuèk-isme sosial!

-----------

Catatan kaki:

1) Dalam hal ini, paham hukum sebagai sarana rekayasa sosial (a tool of social engineering), suatu konsep yang sering dilekatkan pada pemikir bernama Roscoe Pound, bisa dipahami, dengan catatan bahwa kata ‘rekayasa’ harus dimengerti dalam arti yang positif, atau setidaknya netral. Bias pemahaman yang cenderung negatif karena pengalaman di masa lalu tentu tetap perlu diperhatikan.

HABITUS (?) NYAMPAH: Sebuah Refleksi [2]

Habitus: Beberapa Ciri

Setelah mencermati kebiasaan-kebiasaan katro’ di atas, muncul pertanyaan apakah kebiasaan yang lebih bersifat negatif itu bisa juga disebut habitus. Habitus adalah sebentuk kebiasaan sosial, tetapi supaya lebih jelas, ada baiknya sedikit menjernihkan pemahaman tentang habitus. Akademisi yang selama ini dikaitkan dengan konsep habitus atau kebiasaan sosial adalah Pierre Bourdieu, seorang sosiolog Perancis yang hidup tahun 1930-2002. Dalam bukunya yang berjudul The Logic of Practice (1990) ia mengatakan bahwa habitus adalah “Systems of durable, transposable dispositions, structured structures predisposed to function as structuring structures, that is, as principles which generate and organize practices and representations that can be objectively adapted to their outcomes without presupposing a conscious aiming at ends or an express mastery of the operations necessary in order to attain them. Objectively ‘regulated’ and ‘regular’ without being in any way the product of obedience to rules, they can be collectively orchestrated without being the product of the organizing action of a conductor.” (hal. 53)

Ignas Kleden menarik tujuh elemen penting dari paparan Bourdieu itu, yaitu bahwa

a. Habitus adalah sistem atau perangkat disposisi yang bertahan lama dan diperoleh melalui latihan berulangkali (inculcation).

b. Dia lahir dari kondisi sosial tertentu dan karena itu menjadi struktur yang sudah diberi bentuk terlebih dahulu oleh kondisi sosial di mana dia diproduksikan (structured structures).

c. Akan tetapi disposisi yang terstruktur ini sekaligus berfungsi sebagai kerangka yang melahirkan dan memberi bentuk kepada persepsi, representasi dan tindakan seseorang dan karena itu menjadi structuring structures.

d. Sekali pun habitus lahir dalam kondisi sosial tertentu dia bisa dialihkan ke kondisi sosial yang lain dan karena itu bersifat transposable.

e. Habitus bersifat pra-sadar (preconscious) karena dia tidak merupakan hasil dari refleksi atau pertimbangan rasional. Dia lebih merupakan spontanitas yang tidak disadari dan tak dikehendaki dengan sengaja, tetapi juga bukanlah suatu gerakan mekanistis yang tanpa latarbelakang sejarah sama sekali.

f. Bersifat teratur dan berpola tetapi bukan merupakan ketundukan kepada peraturan-peraturan tertentu. Habitus tidak merupakan a state of mind tetapi a state of body dan menjadi the site of incorporated history.

g. Habitus dapat terarah kepada tujuan dan hasil tindakan tertentu tetapi tanpa ada maksud secara sadar untuk mencapai hasil-hasil tersebut dan juga tanpa penguasaan kepandaian yang bersifat khusus untuk mencapainya.1)

Penjelasan ini bisa menjadi tidak jelas kalau tidak dikaitkan dengan contoh yang kongkret. Sebelum dikaitkan dengan contoh, perlulah digaris-bawahi bahwa pemahaman Bourdieu tentang habitus adalah perilaku yang ‘positif.’ Artinya, habitus-habitus katro’ sebenarnya tidak begitu saja bisa dimaksudkan dalam kategori habitus-nya Bourdieu. Karena itu, habitus katro’ sulit dijadikan contoh untuk ini. Alih-alih, habitus berjalan di sebelah kiri dan habitus antri lebih tepat dijadikan contoh.

Pertama, berjalan di sebelah kiri jelas-jelas telah menjadi sebuah “sistem atau perangkat disposisi yang bertahan lama dan diperoleh melalui latihan berulangkali.” Kita memang tidak tahu kapan itu mulai terjadi, tetapi jelas bahwa mula-mula kebiasaan tidak begitu saja terjadi. Selain itu, pembentukannya butuh upaya yang berkelanjutan dan dalam sebuah proses yang tidak pendek. Yang jelas, ia sudah bertahan sangat lama.

Contoh kedua mungkin bisa membantu, yaitu antri. Sekarang ini, antri telah menunjukkan gejala menjadi sebuah kebiasaan sosial, sangat berbeda dengan kira-kira sepuluh tahun silam, meski memang belum bisa dikatakan sudah ‘utuh’ sebagai kebiasaan sosial seperti misalnya berjalan di sebelah kiri. Tanda-tanda bahwa antri akan menjadi kebiasaan sosial tampak dari spontanitas orang di tempat-tempat umum untuk melakukannya bila diperlukan, meski tak jarang masih diperlukan sarana pengingat berupa tali atau masih diperlukan satpam untuk menegur orang yang main serobot. Adanya struktur luar inilah (tali dan/atau satpam) menunjukkan belum penuhnya spontanitas itu.

Hal lain yang menandakan bahwa itu sudah bisa dikategorikan sebagai habitus adalah reaksi orang bila menyerobot antrian. Dulu, ketika antri belum menjadi habitus, orang yang ditegur karena tidak mau antri biasanya bereaksi marah. Sekarang, reaksi orang berbeda. Jika ditegur atau diingatkan karena menyerobot antrian biasanya lalu malu tersipu.

Dalam hal ini, proses terbentuknya kebiasaan sosial antri ini patut dicermati, karena dari prosesnya tampak bagaimana ‘latihan yang berulangkali’ itu terjadi. Yang perlu digarisbawahi adalah bagaimana ‘latihan yang berulangkali’ itu membutuhkan sarana bantu dari luar. Spontanitas orang tidak muncul begitu saja, apalagi jika dilakukan oleh kebanyakan orang. Untuk itu, ketika dulu kebiasaan antri ini mau dibentuk, ada tulisan-tulisan, ditambah pagar besi dan polisi. Dalam perkembangannya, tulisan tetap ada, tetapi tidak sebanyak dulu. Pagar tidak lagi besi, cukup tali. Polisi pun sudah diganti satpam. Dalam hal ini jelas: struktur dari luar itu (tulisan, pagar, polisi/satpam) menjadi sarana bantu manusia dalam kelemahannya. Melemahnya struktur luar sejajar dengan menguatnya ‘struktur’ spontanitas. Yang diharapkan nantinya adalah bahwa antri itu sungguh sudah menjadi disposisi setiap orang sehingga tidak lagi diperlukan struktur luar.

Kedua, dapatlah dibayangkan bahwa kebiasaan berjalan di sebelah kiri tidaklah terlalu perlu dilakukan pada waktu jalan raya dalam arti sekarang belum ada. Kalau toh ada, belum ada kendaraan yang bisa berjalan cepat. Makin banyaknya orang yang berlalu lalang, apalagi dengan kendaraan yang berjalan cepat, membutuhkan keteraturan supaya orang bisa nyaman berjalan dan tidak saling bertabrakan. Untuk itu, diperlukanlah sebuah kebiasaan sosial. Untuk Indonesia, serta beberapa negara lain, disepakati kebiasaan sosial berjalan di sebelah kiri. Jika semua pengguna jalan diyakini pasti akan berjalan di sebelah kiri, kebiasaan ini pasti akan memberi kepastian dalam keramaian jalan dan kecepatan gerak kendaraan. Keramaian pengguna jalan dan makin lajunya kendaraan adalah kondisi sosial baru yang membutuhkan kebiasaan sosial yang baru. Dengan kata lain, berjalan di sebelah kiri jelas “lahir dari kondisi sosial tertentu dan karena itu menjadi struktur yang sudah diberi bentuk terlebih dahulu oleh kondisi sosial di mana dia diproduksikan.”

Ketiga, karena sudah menjadi kebiasaan, berjalan di sebelah kiri ini, bagi para pelaku, menjadi sebuah disposisi yang terstruktur. Ia telah menjadi kesadaran dan sikap yang ‘tertanam’ dalam diri. Pada gilirannya kebiasaan itu “berfungsi sebagai kerangka yang melahirkan dan memberi bentuk kepada persepsi, representasi dan tindakan seseorang.” Maksudnya, karena telah tertanam, tindakan-tindakan lain yang berkaitan dengan berjalan di jalan (raya) akan dikerangkai oleh, atau disesuaikan dengan, kebiasaan berjalan di sebelah kiri ini. Dibuatnya kemudi mobil di sebelah kanan dan pemasangan kebanyakan rambu lalu-lintas di sebelah kanan adalah contoh kecil bagaimana kebiasaan berjalan di sebelah kiri menjadi penentu dari tindakan-tindakan selanjutnya. Pun, tanpa sepenuhnya disadari, bila kita mau membeli suatu barang di toko, khususnya bila belum ditentukan sebelumnya, pilihan pertama adalah toko yang ada di sebelah kiri. Pilihan ini memang berkaitan dengan kepraktisan, tetapi juga erat hubungannya dengan persepsi. Bahkan, kemudian, bisa juga diartikan, karena berjalan di sebelah kiri sudah menjadi kerangka persepsi, berjalan dalam mimpi waktu tidur pun pasti di sebelah kiri!

Keempat, meski kebiasaan berjalan di sebalah kiri lahir dalam konteks makin ramainya jalan raya dan makin cepatnya kendaraan berjalan, kebiasaan ini tidak punya kaitan langsung dan niscaya. Artinya, bisa saja lahir kebiasaan sosial lain, atau dengan kata lain, kebiasaan sosial yang dibentuk itu menjadi cara penyelesaian dari suatu masalah yang muncul dari suatu konteks sosial yang baru. Sebagai cara, tidak bisa disimpulkan serta-merta. Bahwa di negara lain kebiasaan yang lahir adalah berjalan di sebelah kanan, menunjukkan hal ini. Karena tidak ada kaitan yang niscaya ini, kebiasaan ini pun bisa dibuat atau dilakukan dalam konteks sosial yang berbeda. Tidak ada alasan esensial yang menghalangi bila kebiasaan berjalan di sebelah kiri ini diterapkan di tengah hutan misalnya. Itulah maksud bahwa habitus itu transposable.

Kelima, bahwa habitus itu “merupakan spontanitas yang tidak disadari dan tak dikehendaki dengan sengaja, tetapi juga bukanlah suatu gerakan mekanistis yang tanpa latarbelakang sejarah sama sekali” juga tampak jelas dalam kebiasaan berjalan di sebelah kiri. Kalau kita melakukannya, jelas kita tidak perlu berpikir lagi. Ketika mulai memasuki jalan raya, kita tidak perlu lagi memilih apakah mau berjalan di sebelah kiri atau kanan. Kita lakukan itu dengan spontan. Bahwa kebiasaan itu bukan sekedar gerakan mekanistis, melainkan sebuah kebiasaan yang punya latar belakang sejarah dan latar-belakang sosial, jelas dari butir dua di atas.

Adanya latar belakang sejarah itu tampak lebih jelas dalam paparan singkat tentang terbentuknya kebiasaan sosial antri tadi. Yang juga mau dikatakan tentang adanya latar-belakang sejarah ini adalah adanya kesengajaan dalam proses awal pembentukannya. Kesengajaan ini berkaitan dengan tujuan yang akan dipaparkan dalam butir terakhir. Adanya kesengajaan (yang bertujuan) inilah yang membedakannya dari sekedar gerakan mekanistis, yang pada umumnya terjadi tanpa tujuan, sekedar melepas dorongan dari dalam.

Keenam, selain itu, waktu berjalan di sebelah kiri, kebanyakan dari kita tidak perlu lagi melihat ada polisi atau tidak. Tidak perlu lagi ada rambu-rambu lalu-lintas yang mengingatkan kita untuk berjalan di sebelah kiri, karena berjalan di sebelah kiri telah menjadi kebiasaan yang “bersifat teratur dan berpola tetapi bukan merupakan ketundukan kepada peraturan-peraturan tertentu.” Dalam istilah yang lebih canggih, berjalan di sebelah kiri telah menjadi a state of body dan menjadi the site of incorporated history. Ia bukan lagi sekedar kesadaran atau a state of mind. Habitus atau kebiasaan sosial adalah sebuah tindakan.

Persis disitu pula contoh tentang pagar dan polisi dalam kebiasaan antri itu bisa memberi ilustrasi. Seperti sudah disebutkan, antri baru akan menjadi kebiasaan sosial yang ‘penuh’ bila orang melakukannya tanpa lagi melihat adanya tulisan ‘harap antri,’ tanpa perlu melihat adanya pagar atau tali, dan tanpa takut teguran polisi atau satpam. Bahwa struktur luarnya sudah makin lemah, dan bila orang ditegur karena tidak melakukannya tidak lagi marah, menunjukkan perkembangan yang positif ke arah makin ‘penuh’nya antri sebagai kebiasaan sosial kita.

Perlu diingat, bahwa ketundukan pada peraturan tertentu tidak selalu berarti takut hukuman. Bisa juga berarti lebih ‘positif’ dalam arti mengharapkan hadiah atau reward, entah itu hadiah material maupun hadiah yang bersifat emosional, berupa kesenangan atau kebanggaan. Dalam hal ini, suatu tindakan baru akan disebut kebiasaan sosial bila si pelaku juga tidak lagi mengharapkan ‘hadiah.’ Orang yang berjalan di sebelah kiri bukan hanya tidak lagi melakukannya karena takut, melainkan juga tidak lagi mengharapkan pujian dari orang lain. Jika banyak orang beramai-ramai memberi uang receh kepada orang miskin atau derma kepada korban bencana, tindakan itu tidak bisa disebut sebagai kebiasaan sosial. Meski mungkin itu dilakukan dengan relatif spontan, tetapi motivasi kasihan, atau karena malu melihat orang lain melakukannya,

Ketujuh, karena dilakukan dengan spontan, orang sudah tidak tahu lagi bahwa kebiasaan berjalan di sebelah kiri ini punya arti penting bagi ketertiban, keteraturan dan kepastian hidup bersama di jalan raya. Para pengguna jalan raya tidak lagi perlu stress menebak-nebak apakah pengguna lain, khususnya yang berlawanan arah, berjalan di sebelah kiri atau kanan. Dengan kata lain, tujuan ketika kebiasaan ini mula-mula dibentuk, sudah dilupakan, tidak lagi menjadi motivasi yang disadari. Itulah maksudnya ketika dikatakan bahwa habitus “dapat terarah kepada tujuan dan hasil tindakan tertentu tetapi tanpa ada maksud secara sadar untuk mencapai hasil-hasil tersebut.” Pun, kebiasaan itu dilakukan dengan “tanpa penguasaan kepandaian yang bersifat khusus untuk mencapainya.” Maksudnya, karena bersifat sosial (bukan individual), banyak orang, atau malah hampir semua, dengan gampang melakukannya. Tidak perlu ada kursus khusus untuk bisa berjalan di sebelah kiri.

Tujuan yang sudah ‘merasuk’ di dalamnya itu pulalah yang memberi sifat sosial, karena tujuannya memang untuk kepentingan bersama. Adanya tujuan sosial ini pun menegaskan bahwa habitus atau kebiasaan sosial itu seharusnya bersifat positif.

Adanya tujuan untuk kesejahteraan bersama itu pulalah yang membedakan kebiasaan sosial dalam arti habitus dengan kebiasaan sosial dalam kerangka sopan-santun. Ambil saja contoh memberi dengan tangan kanan. Kebiasaan yang cukup umum dalam masyarakat Indonesia ini memang bisa dikatakan sebagai kebiasaan sosial, karena memang berkaitan dengan nilai hormat pada orang lain. Tangan kanan dipandang lebih terhormat daripada tangan kiri. Karena itu, memberi dengan tangan kanan dipandang lebih santun. Hanya saja, meski berkaitan dengan nilai umum, tidak dilakukannya kebiasaan ini tidak menimbulkan kerugian yang besar. Yang terjadi ‘hanyalah’ sedikit tercabiknya perasaan kesopanan dalam rangka hormat tadi. Disinilah letak perbedaannya.

Contoh lain adalah kebiasaan memakai dasi di tempat kerja. Kebiasaan sosial yang relatif baru ini juga tidak begitu saja bisa dikategorikan sebagai habitus strictu senso. Nilai yang mau dituju lebih berkaitan dengan kesantunan baru, atau malah sekedar keindahan saja. Bahkan, kalau diperhatikan lebih jauh, malah bisa berarti negatif, karena pakaian berdasi lebih membutuhkan pendingin ruangan daripada pakaian tanpa dasi. Perlu diingat bahwa pemakaian pendingin ruangan yang berlebihan juga menyumbang lebih banyak pada terjadinya global warming!

1) Ignas Kleden, “Habitus: Iman dalam Perspektif Cultural Production” dalam RP Adrianus Sunarko, OFM dkk (eds.), Bangkit dan Bergeraklah: Dokumentasi Hasil Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia 2005, Jakarta: Sekretariat SAGKI 2005, hal. 361-375.

HABITUS (?) NYAMPAH: Sebuah Refleksi [1]

Sampah, selain polusi udara dan rendahnya mutu air, adalah masalah dalam konteks lingkungan hidup di perkotaan. Karena praktis menjadi masalah dimana-mana, bisa dikatakan bahwa sampah telah menjadi sebuah fenomena kemanusiaan universal. Bahkan, bisa pula dikatakan bahwa sampah adalah salah satu bagian hakiki dari kemanusiaan itu. Setiap orang mengenal dan memproduksi sampah. Sampah tidak mengenal kebangsaan, tidak mengenal kesukuan, tidak mengenal agama, tidak mengenal usia, dan juga tak kenal perbedaan gender. Jika demikian, pantaslah dicermati mengapa sikap manusia terhadap sampah bisa berbeda dari satu tempat ke tempat lain. Dalam konteks masyarakat Indonesia, pada umumnya sikap orang Indonesia terhadap sampah, baik di pedesaan maupun perkotaan, masih sangat tradisional. Dalam bahasa Thukul Arwana, dalam acara Empat Mata-nya, sikap dan perilaku masyarakat Indonesia terhadap sampah masih katro’ atau ndeso atau kampungan!

Nyampah dan Katro’

Kata katro’ seolah muncul ex nihillo, dari ketiadaan. Etimologinya tidak terlalu jelas. Sejauh bisa diingat, kata katro’ adalah sebuah slank dalam pergaulan anak muda sehari-hari di sekitar Jawa Tengah. Yang mau diungkapkan adalah sikap dan perilaku yang kurang pada tempatnya. Lebih dari itu, kata katro,’ khususnya dalam konteks sampah tadi, tidak sekedar menunjuk pada sebuah kesopanan yang artifisial, tidak pula menunjuk suatu lokalitas (asal-muasal geografis), melainkan menunjuk pada suatu sikap. Sikap yang dimaksud adalah sikap tidak peduli atau tidak mau tahu terhadap orang lain atau terhadap kebersamaan (hidup bersama), dalam konteks keterbatasan ruang, keterbatasan waktu maupun keterbatasan sumber-daya dan dana. Dalam hal ini, konteks keterbatasan penting digaris-bawahi.

Sikap katro’ berkaitan dengan keterbatasan ruang tampak antara lain perilaku di jalanan Jakarta. Mobil dan motor saling serobot dan tidak peduli pada rambu lalu-lintas. Ada pula yang suka berhenti sembarangan. Yang akhir-akhir ini juga makin menggejala adalah kebiasaan menerima telepon (melalui telepon genggam atau HP) sambil naik motor. Tampak disitu bagaimana kepekaan pada terbatasnya ruang nyaris tidak ada. Perilaku ini bisa disebut katro’ atau ndeso karena mungkin saja di desa jalanan masih lengang sehingga berjalan zig-zag pun tidak akan banyak mengganggu orang lain. Di ruang jalanan yang masih lengang tentu saja tak dibutuhkan rambu lalu-lintas. Perlu dingat, rambu lalu-lintas, seperti aturan pada umumnya, diperlukan demi ketertiban, mengingat bahwa manusia pada dasarnya memang mau enaknya sendiri. Disinilah, menerapkan cara berperilaku di desa dalam konteks jalanan di kota bisa disebut ndeso atau katro’.

Demikian pun, budaya ngarèt bisa pula disebut katro’, karena mereka yang berbudaya atau berkebiasaan ngarèt ini tidak cukup sensitif pada keterbatasan waktu manusia modern. Dalam dunia yang tunggang-langgang (runaway world, dalam istilah Giddens), waktu memang sangat terbatas. Budaya atau tepatnya kebiasaan tepat waktu menjadi sangat penting demi ketertiban hidup bersama. Hal ini tentu saja berbeda dengan situasi masa lalu dimana waktu masih longgar, kesibukan orang masih relatif sedikit, sehingga waktu hanya ditakik dalam kategori pagi, siang, sore dan malam. Takikan waktu dalam jam, menit, dan detik sangat berkaitan dengan makin terbatasnya waktu itu. Kebiasaan ngarèt lalu masuk dalam kategori katro’.

Selanjutnya, katro’ dalam konteks keterbatasan sumber-daya antara lain tampak dalam penghambur-hamburan air. Saat ini, khususnya di perkotaan, air sudah menjadi barang mahal. Meski begitu, tak jarang masih ditemui perilaku orang yang tidak peduli dengan keterbatasan air ini. Tarif air PAM yang progresif tentu berkaitan dengan masih banyaknya orang yang katro’ dalam hal air. Contoh lain yang sejajar dengan air adalah listrik. Maksudnya, orang yang tidak mematikan lampu atau AC kamarnya meski ditinggal pergi pada dasarnya bisa juga disebut katro’.

Lalu, bagaimana dengan kebiasaan nyampah? Nyampah yang dimaksud disini adalah membuang sampah sembarangan. Ini pun gejala cukup umum, sehingga dikenal istilah NIMBY syndrome (Not In My Back Yard syndrome: terserah mau buang sampah di mana pun, asal tidak di halaman rumahku). Di Indonesia, khususnya di kota, antara lain Jakarta, hal itu tampak sangat jelas. Dari istilahnya sudah jelas bahwa nyampah masuk kategori katro’, karena kentalnya unsur ketidak-pedulian pada sesama dan kehidupan bersama. Selain itu, yang juga kentara adalah ketidak-pedulian terhadap keterbatasan ruang dalam menampung sampah yang ada.

Perlu dicatat bahwa keterbatasan ruang ini, khususnya di perkotaan, dalam kaitan dengan sampah, pun makin nyata karena tiga hal. Pertama, ruang geografis untuk menampung sampah memang makin sempit karena lahan lebih dimanfaatkan untuk usaha lain yang dipandang lebih produktif. Kedua, jumlah sampah juga makin besar. Semakin ’modern’ suatu masyarakat, semakin banyak pula sampah yang dihasilkan. Dengan kata lain, jumlah sampah berbanding lurus dengan modernitas masyarakat.1) Ketiga, jenis sampah jaman sekarang juga sudah berbeda dengan sampah jaman dulu, khususnya dalam ke-’awet’-annya. Maksudnya, sampah di jaman ini jauh lebih sukar hancur daripada sampah pada masa lalu. Plastik dan stereoform adalah dua contoh produk manusia yang tidak mudah hancur di tanah. Menurut penyelidikan, kantong plastik tipis itu butuh waktu kira-kira 400 tahun untuk bisa hancur menjadi tanah. Hal inilah yang menjadikan ruang geografis makin terbatas dalam kaitannya dengan sampah.

Yang kemudian juga menjadi pertanyaan adalah: mengapa banyak orang katro’ atau tidak mau peduli? Dari pengamatan terhadap kebiasaan nyampah dan juga kebiasaan-kebiasaan katro’ lain di tengah masyarakat, tampak adanya tiga sifat dasar manusia yang menonjol. Pertama, manusia itu mau mencari enak, dan bahkan mencari enaknya sendiri.2) Ketidakpedulian yang menjadi esensi katro’ adalah kenampakan paling kongkret dari sifat egoistis ini. Nimby syndrome dalam konteks sampah menjadi makin memperjelas hal itu. Kedua, masih berkaitan erat dengan ciri pertama, manusia itu malas atau tidak mau repot.3) Dalam konteks sampah, keengganan orang mencari tempat sampah, atau ’menyimpan’ sampah sampai menemukan tempat sampah, lalu membuangnya di sembarang tempat adalah cerminan kemalasan atau tidak mau repotnya manusia. Dalam hal ini, kebiasaan dilayani, baik oleh pembantu/pelayan maupun petugas khusus kebersihan, menambah besarnya kemalasan itu. Ketiga, kebanyakan manusia juga pelupa. Meski sudah berkali-kali diingatkan dan upaya penyadaran sudah dilakukan, tetap saja manusia perlu diingatkan. 4) Tulisan ’jagalah kebersihan,’ atau ’kebersihan adalah sebagian dari iman,’ atau ’jangan buang sampah disini’ sudah bertebaran dimana-mana, tetapi tidak terlalu diingat oleh kebanyakan orang.

--------

Catatan kaki.

1) Sebagai contoh, menurut Data Dinas Kebersihan DKI Jakarta tahun 2005, diperkirakan ada 25.632 m3 (atau kira-kira 8000 ton) sampah, dengan pengandaian per-orang memproduksi sampah 2,67 liter sampah per hari. Lihat http://www.kebersihandki.com/dinas/index.php?option=com_staticxt&staticfile= isi%20volume.htm, diakses 11 Mei 2007 jam 09.45.

2) Hal ini juga kentara dalam slogan-slogan yang diusung oleh banyak iklan, tidak hanya untuk makanan, yang mencantumkan kata enak atau nikmat. Akar utilitarisme J. Bentham maupun J. S. Mill pun secara cukup eksplisit melihat bahwa manusia itu mencari enak dan menghindari sakit, dan dalam hal ini akarnya bisa ditarik sampai ke pemikiran Epicurus, filsuf Yunani yang hidup pada abad ketiga sebelum Masehi.

3) Fenomena perkembangan pesat teknologi pada dasarnya pun tidak bisa dilepaskan dari pengandaian anthropologis bahwa manusia sebenarnya malas atau tidak mau repot. Justru karena tidak mau repot itulah manusia menciptakan alat-alat bantu yang mempermudah hidupnya.

4) Sejajar dengan teknologi yang terkait dengan kemalasan manusia, banyak teknologi pun terkait dengan ke-pelupa-an manusia. Jika manusia mempunyai memory yang tak terbatas, tentulah kalkulator dan komputer tidak bisa berkembang sehebat sekarang ini.