26 Januari 2008

HABITUS (?) NYAMPAH: Sebuah Refleksi [2]

Habitus: Beberapa Ciri

Setelah mencermati kebiasaan-kebiasaan katro’ di atas, muncul pertanyaan apakah kebiasaan yang lebih bersifat negatif itu bisa juga disebut habitus. Habitus adalah sebentuk kebiasaan sosial, tetapi supaya lebih jelas, ada baiknya sedikit menjernihkan pemahaman tentang habitus. Akademisi yang selama ini dikaitkan dengan konsep habitus atau kebiasaan sosial adalah Pierre Bourdieu, seorang sosiolog Perancis yang hidup tahun 1930-2002. Dalam bukunya yang berjudul The Logic of Practice (1990) ia mengatakan bahwa habitus adalah “Systems of durable, transposable dispositions, structured structures predisposed to function as structuring structures, that is, as principles which generate and organize practices and representations that can be objectively adapted to their outcomes without presupposing a conscious aiming at ends or an express mastery of the operations necessary in order to attain them. Objectively ‘regulated’ and ‘regular’ without being in any way the product of obedience to rules, they can be collectively orchestrated without being the product of the organizing action of a conductor.” (hal. 53)

Ignas Kleden menarik tujuh elemen penting dari paparan Bourdieu itu, yaitu bahwa

a. Habitus adalah sistem atau perangkat disposisi yang bertahan lama dan diperoleh melalui latihan berulangkali (inculcation).

b. Dia lahir dari kondisi sosial tertentu dan karena itu menjadi struktur yang sudah diberi bentuk terlebih dahulu oleh kondisi sosial di mana dia diproduksikan (structured structures).

c. Akan tetapi disposisi yang terstruktur ini sekaligus berfungsi sebagai kerangka yang melahirkan dan memberi bentuk kepada persepsi, representasi dan tindakan seseorang dan karena itu menjadi structuring structures.

d. Sekali pun habitus lahir dalam kondisi sosial tertentu dia bisa dialihkan ke kondisi sosial yang lain dan karena itu bersifat transposable.

e. Habitus bersifat pra-sadar (preconscious) karena dia tidak merupakan hasil dari refleksi atau pertimbangan rasional. Dia lebih merupakan spontanitas yang tidak disadari dan tak dikehendaki dengan sengaja, tetapi juga bukanlah suatu gerakan mekanistis yang tanpa latarbelakang sejarah sama sekali.

f. Bersifat teratur dan berpola tetapi bukan merupakan ketundukan kepada peraturan-peraturan tertentu. Habitus tidak merupakan a state of mind tetapi a state of body dan menjadi the site of incorporated history.

g. Habitus dapat terarah kepada tujuan dan hasil tindakan tertentu tetapi tanpa ada maksud secara sadar untuk mencapai hasil-hasil tersebut dan juga tanpa penguasaan kepandaian yang bersifat khusus untuk mencapainya.1)

Penjelasan ini bisa menjadi tidak jelas kalau tidak dikaitkan dengan contoh yang kongkret. Sebelum dikaitkan dengan contoh, perlulah digaris-bawahi bahwa pemahaman Bourdieu tentang habitus adalah perilaku yang ‘positif.’ Artinya, habitus-habitus katro’ sebenarnya tidak begitu saja bisa dimaksudkan dalam kategori habitus-nya Bourdieu. Karena itu, habitus katro’ sulit dijadikan contoh untuk ini. Alih-alih, habitus berjalan di sebelah kiri dan habitus antri lebih tepat dijadikan contoh.

Pertama, berjalan di sebelah kiri jelas-jelas telah menjadi sebuah “sistem atau perangkat disposisi yang bertahan lama dan diperoleh melalui latihan berulangkali.” Kita memang tidak tahu kapan itu mulai terjadi, tetapi jelas bahwa mula-mula kebiasaan tidak begitu saja terjadi. Selain itu, pembentukannya butuh upaya yang berkelanjutan dan dalam sebuah proses yang tidak pendek. Yang jelas, ia sudah bertahan sangat lama.

Contoh kedua mungkin bisa membantu, yaitu antri. Sekarang ini, antri telah menunjukkan gejala menjadi sebuah kebiasaan sosial, sangat berbeda dengan kira-kira sepuluh tahun silam, meski memang belum bisa dikatakan sudah ‘utuh’ sebagai kebiasaan sosial seperti misalnya berjalan di sebelah kiri. Tanda-tanda bahwa antri akan menjadi kebiasaan sosial tampak dari spontanitas orang di tempat-tempat umum untuk melakukannya bila diperlukan, meski tak jarang masih diperlukan sarana pengingat berupa tali atau masih diperlukan satpam untuk menegur orang yang main serobot. Adanya struktur luar inilah (tali dan/atau satpam) menunjukkan belum penuhnya spontanitas itu.

Hal lain yang menandakan bahwa itu sudah bisa dikategorikan sebagai habitus adalah reaksi orang bila menyerobot antrian. Dulu, ketika antri belum menjadi habitus, orang yang ditegur karena tidak mau antri biasanya bereaksi marah. Sekarang, reaksi orang berbeda. Jika ditegur atau diingatkan karena menyerobot antrian biasanya lalu malu tersipu.

Dalam hal ini, proses terbentuknya kebiasaan sosial antri ini patut dicermati, karena dari prosesnya tampak bagaimana ‘latihan yang berulangkali’ itu terjadi. Yang perlu digarisbawahi adalah bagaimana ‘latihan yang berulangkali’ itu membutuhkan sarana bantu dari luar. Spontanitas orang tidak muncul begitu saja, apalagi jika dilakukan oleh kebanyakan orang. Untuk itu, ketika dulu kebiasaan antri ini mau dibentuk, ada tulisan-tulisan, ditambah pagar besi dan polisi. Dalam perkembangannya, tulisan tetap ada, tetapi tidak sebanyak dulu. Pagar tidak lagi besi, cukup tali. Polisi pun sudah diganti satpam. Dalam hal ini jelas: struktur dari luar itu (tulisan, pagar, polisi/satpam) menjadi sarana bantu manusia dalam kelemahannya. Melemahnya struktur luar sejajar dengan menguatnya ‘struktur’ spontanitas. Yang diharapkan nantinya adalah bahwa antri itu sungguh sudah menjadi disposisi setiap orang sehingga tidak lagi diperlukan struktur luar.

Kedua, dapatlah dibayangkan bahwa kebiasaan berjalan di sebelah kiri tidaklah terlalu perlu dilakukan pada waktu jalan raya dalam arti sekarang belum ada. Kalau toh ada, belum ada kendaraan yang bisa berjalan cepat. Makin banyaknya orang yang berlalu lalang, apalagi dengan kendaraan yang berjalan cepat, membutuhkan keteraturan supaya orang bisa nyaman berjalan dan tidak saling bertabrakan. Untuk itu, diperlukanlah sebuah kebiasaan sosial. Untuk Indonesia, serta beberapa negara lain, disepakati kebiasaan sosial berjalan di sebelah kiri. Jika semua pengguna jalan diyakini pasti akan berjalan di sebelah kiri, kebiasaan ini pasti akan memberi kepastian dalam keramaian jalan dan kecepatan gerak kendaraan. Keramaian pengguna jalan dan makin lajunya kendaraan adalah kondisi sosial baru yang membutuhkan kebiasaan sosial yang baru. Dengan kata lain, berjalan di sebelah kiri jelas “lahir dari kondisi sosial tertentu dan karena itu menjadi struktur yang sudah diberi bentuk terlebih dahulu oleh kondisi sosial di mana dia diproduksikan.”

Ketiga, karena sudah menjadi kebiasaan, berjalan di sebelah kiri ini, bagi para pelaku, menjadi sebuah disposisi yang terstruktur. Ia telah menjadi kesadaran dan sikap yang ‘tertanam’ dalam diri. Pada gilirannya kebiasaan itu “berfungsi sebagai kerangka yang melahirkan dan memberi bentuk kepada persepsi, representasi dan tindakan seseorang.” Maksudnya, karena telah tertanam, tindakan-tindakan lain yang berkaitan dengan berjalan di jalan (raya) akan dikerangkai oleh, atau disesuaikan dengan, kebiasaan berjalan di sebelah kiri ini. Dibuatnya kemudi mobil di sebelah kanan dan pemasangan kebanyakan rambu lalu-lintas di sebelah kanan adalah contoh kecil bagaimana kebiasaan berjalan di sebelah kiri menjadi penentu dari tindakan-tindakan selanjutnya. Pun, tanpa sepenuhnya disadari, bila kita mau membeli suatu barang di toko, khususnya bila belum ditentukan sebelumnya, pilihan pertama adalah toko yang ada di sebelah kiri. Pilihan ini memang berkaitan dengan kepraktisan, tetapi juga erat hubungannya dengan persepsi. Bahkan, kemudian, bisa juga diartikan, karena berjalan di sebelah kiri sudah menjadi kerangka persepsi, berjalan dalam mimpi waktu tidur pun pasti di sebelah kiri!

Keempat, meski kebiasaan berjalan di sebalah kiri lahir dalam konteks makin ramainya jalan raya dan makin cepatnya kendaraan berjalan, kebiasaan ini tidak punya kaitan langsung dan niscaya. Artinya, bisa saja lahir kebiasaan sosial lain, atau dengan kata lain, kebiasaan sosial yang dibentuk itu menjadi cara penyelesaian dari suatu masalah yang muncul dari suatu konteks sosial yang baru. Sebagai cara, tidak bisa disimpulkan serta-merta. Bahwa di negara lain kebiasaan yang lahir adalah berjalan di sebelah kanan, menunjukkan hal ini. Karena tidak ada kaitan yang niscaya ini, kebiasaan ini pun bisa dibuat atau dilakukan dalam konteks sosial yang berbeda. Tidak ada alasan esensial yang menghalangi bila kebiasaan berjalan di sebelah kiri ini diterapkan di tengah hutan misalnya. Itulah maksud bahwa habitus itu transposable.

Kelima, bahwa habitus itu “merupakan spontanitas yang tidak disadari dan tak dikehendaki dengan sengaja, tetapi juga bukanlah suatu gerakan mekanistis yang tanpa latarbelakang sejarah sama sekali” juga tampak jelas dalam kebiasaan berjalan di sebelah kiri. Kalau kita melakukannya, jelas kita tidak perlu berpikir lagi. Ketika mulai memasuki jalan raya, kita tidak perlu lagi memilih apakah mau berjalan di sebelah kiri atau kanan. Kita lakukan itu dengan spontan. Bahwa kebiasaan itu bukan sekedar gerakan mekanistis, melainkan sebuah kebiasaan yang punya latar belakang sejarah dan latar-belakang sosial, jelas dari butir dua di atas.

Adanya latar belakang sejarah itu tampak lebih jelas dalam paparan singkat tentang terbentuknya kebiasaan sosial antri tadi. Yang juga mau dikatakan tentang adanya latar-belakang sejarah ini adalah adanya kesengajaan dalam proses awal pembentukannya. Kesengajaan ini berkaitan dengan tujuan yang akan dipaparkan dalam butir terakhir. Adanya kesengajaan (yang bertujuan) inilah yang membedakannya dari sekedar gerakan mekanistis, yang pada umumnya terjadi tanpa tujuan, sekedar melepas dorongan dari dalam.

Keenam, selain itu, waktu berjalan di sebelah kiri, kebanyakan dari kita tidak perlu lagi melihat ada polisi atau tidak. Tidak perlu lagi ada rambu-rambu lalu-lintas yang mengingatkan kita untuk berjalan di sebelah kiri, karena berjalan di sebelah kiri telah menjadi kebiasaan yang “bersifat teratur dan berpola tetapi bukan merupakan ketundukan kepada peraturan-peraturan tertentu.” Dalam istilah yang lebih canggih, berjalan di sebelah kiri telah menjadi a state of body dan menjadi the site of incorporated history. Ia bukan lagi sekedar kesadaran atau a state of mind. Habitus atau kebiasaan sosial adalah sebuah tindakan.

Persis disitu pula contoh tentang pagar dan polisi dalam kebiasaan antri itu bisa memberi ilustrasi. Seperti sudah disebutkan, antri baru akan menjadi kebiasaan sosial yang ‘penuh’ bila orang melakukannya tanpa lagi melihat adanya tulisan ‘harap antri,’ tanpa perlu melihat adanya pagar atau tali, dan tanpa takut teguran polisi atau satpam. Bahwa struktur luarnya sudah makin lemah, dan bila orang ditegur karena tidak melakukannya tidak lagi marah, menunjukkan perkembangan yang positif ke arah makin ‘penuh’nya antri sebagai kebiasaan sosial kita.

Perlu diingat, bahwa ketundukan pada peraturan tertentu tidak selalu berarti takut hukuman. Bisa juga berarti lebih ‘positif’ dalam arti mengharapkan hadiah atau reward, entah itu hadiah material maupun hadiah yang bersifat emosional, berupa kesenangan atau kebanggaan. Dalam hal ini, suatu tindakan baru akan disebut kebiasaan sosial bila si pelaku juga tidak lagi mengharapkan ‘hadiah.’ Orang yang berjalan di sebelah kiri bukan hanya tidak lagi melakukannya karena takut, melainkan juga tidak lagi mengharapkan pujian dari orang lain. Jika banyak orang beramai-ramai memberi uang receh kepada orang miskin atau derma kepada korban bencana, tindakan itu tidak bisa disebut sebagai kebiasaan sosial. Meski mungkin itu dilakukan dengan relatif spontan, tetapi motivasi kasihan, atau karena malu melihat orang lain melakukannya,

Ketujuh, karena dilakukan dengan spontan, orang sudah tidak tahu lagi bahwa kebiasaan berjalan di sebelah kiri ini punya arti penting bagi ketertiban, keteraturan dan kepastian hidup bersama di jalan raya. Para pengguna jalan raya tidak lagi perlu stress menebak-nebak apakah pengguna lain, khususnya yang berlawanan arah, berjalan di sebelah kiri atau kanan. Dengan kata lain, tujuan ketika kebiasaan ini mula-mula dibentuk, sudah dilupakan, tidak lagi menjadi motivasi yang disadari. Itulah maksudnya ketika dikatakan bahwa habitus “dapat terarah kepada tujuan dan hasil tindakan tertentu tetapi tanpa ada maksud secara sadar untuk mencapai hasil-hasil tersebut.” Pun, kebiasaan itu dilakukan dengan “tanpa penguasaan kepandaian yang bersifat khusus untuk mencapainya.” Maksudnya, karena bersifat sosial (bukan individual), banyak orang, atau malah hampir semua, dengan gampang melakukannya. Tidak perlu ada kursus khusus untuk bisa berjalan di sebelah kiri.

Tujuan yang sudah ‘merasuk’ di dalamnya itu pulalah yang memberi sifat sosial, karena tujuannya memang untuk kepentingan bersama. Adanya tujuan sosial ini pun menegaskan bahwa habitus atau kebiasaan sosial itu seharusnya bersifat positif.

Adanya tujuan untuk kesejahteraan bersama itu pulalah yang membedakan kebiasaan sosial dalam arti habitus dengan kebiasaan sosial dalam kerangka sopan-santun. Ambil saja contoh memberi dengan tangan kanan. Kebiasaan yang cukup umum dalam masyarakat Indonesia ini memang bisa dikatakan sebagai kebiasaan sosial, karena memang berkaitan dengan nilai hormat pada orang lain. Tangan kanan dipandang lebih terhormat daripada tangan kiri. Karena itu, memberi dengan tangan kanan dipandang lebih santun. Hanya saja, meski berkaitan dengan nilai umum, tidak dilakukannya kebiasaan ini tidak menimbulkan kerugian yang besar. Yang terjadi ‘hanyalah’ sedikit tercabiknya perasaan kesopanan dalam rangka hormat tadi. Disinilah letak perbedaannya.

Contoh lain adalah kebiasaan memakai dasi di tempat kerja. Kebiasaan sosial yang relatif baru ini juga tidak begitu saja bisa dikategorikan sebagai habitus strictu senso. Nilai yang mau dituju lebih berkaitan dengan kesantunan baru, atau malah sekedar keindahan saja. Bahkan, kalau diperhatikan lebih jauh, malah bisa berarti negatif, karena pakaian berdasi lebih membutuhkan pendingin ruangan daripada pakaian tanpa dasi. Perlu diingat bahwa pemakaian pendingin ruangan yang berlebihan juga menyumbang lebih banyak pada terjadinya global warming!

1) Ignas Kleden, “Habitus: Iman dalam Perspektif Cultural Production” dalam RP Adrianus Sunarko, OFM dkk (eds.), Bangkit dan Bergeraklah: Dokumentasi Hasil Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia 2005, Jakarta: Sekretariat SAGKI 2005, hal. 361-375.

Tidak ada komentar: