26 Januari 2008

HABITUS (?) NYAMPAH: Sebuah Refleksi [3]

Arti Penting Rekayasa Sosial

Dari uraian di atas, makin jelas bahwa kebiasaan katro’ atau kebiasaan negatif tidak bisa dikategorikan sebagai habitus. Jika kita perhatikan, habitus senantiasa mengandung dimensi sosial atau kebersamaan hidup yang kental. Dalam kasus kebiasaan katro’, hal itu tidak tampak, atau malah sebaliknya. Jika nyampah dijadikan contoh, meski hal ini dilakukan oleh banyak orang, motivasi yang mendasarinya adalah kepentingan diri, bukan kepentingan bersama. Pun, secara implisit dikatakan bahwa habitus dibentuk dengan pembelajaran yang lama. Dalam hal ini, kebiasaan nyampah tidak memerlukan pembelajaran yang lama. Spontanitas manusia adalah spontanitas tidak mau repot. Sementara itu, habitus pada awalnya dijalankan dengan keterpaksaan dan pengorbanan.

Persis di sinilah perubahan sosial yang akan berujung pada pembentukan habitus memerlukan sebuah rekayasa sosial. Ketiga kelemahan dasar manusia yang telah disebut di atas menjadi alasan mendasar dari pentingnya rekayasa sosial ini. Dengan kata lain, rekayasa sosial adalah keniscayaan, adalah conditio sine qua non. Dalam hal ini, rekayasa sosial tidak harus berarti negatif. Rekayasa sosial yang hampir selalu bersifat struktural adalah sarana bantu manusia untuk mengisi kekurangannya. Lembaga persekolahan, sebagai contoh, adalah sebuah rekayasa sosial, supaya orang mau (meski mula-mula terpaksa) untuk belajar. Pada dasarnya manusia itu malas. Hanya sedikit sekali yang bisa otodidak. Kelemahan dasar manusia itulah yang mau ’ditutup’ atau dilengkapi oleh struktur.

Dalam kasus nyampah, dari uraian di atas menjadi jelas bahwa tulisan-tulisan peringatan atau himbauan untuk tidak membuang sampah sembarangan tidaklah mencukupi untuk mengubah perilaku atau kebiasaan negatif itu. Tulisan peringatan hanya bersentuhan dengan satu sisi kelemahan manusia: pelupa. Masih ada dua lubang kelemahan lain, yaitu ego-sentrisme dan kemalasan. Berkaitan dengan ego-sentrisme, suatu bentuk pemaksaan, baik melalui struktur yang kelihatan (satpam/polisi, aparat kebersihan, dll.) maupun yang tak kelihatan (hukum/aturan), menjadi sarana formatif agar orang meminimalkan sifat ego-sentrismenya.[1) Kemudian, berkaitan dengan kemalasan, penciptaan sarana dan prasarana penunjang menjadi penting. Disediakannya tempat-tempat sampah yang lebih banyak jelas akan mengurangi kerepotan orang. Orang akan lebih mudah mengatasi kemalasannya. Selain itu, dalam prinsip Pavlov, metode ’stick’ ini pun bisa dilengkapi dengan metode ’carrot.’ Insentif yang diberikan pada orang-orang yang mampu melakukan habitus baru dari orang lain atau dari pemerintah tentu akan memperlancar pembentukan habitus itu.

Yang kemudian menjadi pertanyaan adalah apakah struktur yang ada tidak mencukupi bagi lahirnya habitus-habitus yang lebih memperlancar hidup bersama? Disini pulalah salah satu masalahnya. Struktur memang ada. Tanpa struktur masyarakat hidup dalam anarkhi. Hanya saja, tampaknya struktur itu lebih banyak berpihak pada kepentingan sebagian anggota masyarakat saja. Dengan kata lain, sebagian masyarakat lain, lebih-lebih orang kebanyakan dan orang kecil, tidak cukup tersapa oleh struktur yang ada. Mereka yang di-cuèk-i oleh struktur, sehingga mereka pun tak jarang menjadi cenderung cuèk terhadap orang lain atau kepentingan bersama. Selain itu, yang juga kerap terjadi adalah bahwa struktur tidak cukup mudah mengakomodasi inisiatif warga. Tak jarang pula inisiatif warga tergilas oleh struktur yang dipegang secara kaku oleh para birokrat. Bisa dipahami kalau kemudian terjadi yang namanya cuèk-isme sosial!

-----------

Catatan kaki:

1) Dalam hal ini, paham hukum sebagai sarana rekayasa sosial (a tool of social engineering), suatu konsep yang sering dilekatkan pada pemikir bernama Roscoe Pound, bisa dipahami, dengan catatan bahwa kata ‘rekayasa’ harus dimengerti dalam arti yang positif, atau setidaknya netral. Bias pemahaman yang cenderung negatif karena pengalaman di masa lalu tentu tetap perlu diperhatikan.

1 komentar:

Brak Salem mengatakan...

apa yang terpikir oleh otak sesuatu yang positif, lalu terucap dengan positif itulah etos. ketika etos sudah kitajalankan menjadi aksi atau perilaku itulah HABITUS.

Syaefulloh
program Manager, pelatihan 8 etos@habutus (Institut Darma Mahardika) KOntak; 0214801514 E-mail; syaefull.8etos@yahoo.com