
Air Bersih Sumber Kehidupan

Sayur Hijau Sayur Segar

Kesegaran di Pagi Hari

Maafkan Saya... Hanya ini yang kita punya...
Blog ini adalah sarana sosialisasi dari Gerakan Hidup Bersih dan Sehat. Yang dipaparkan di sini, berkaitan dengan kegiatan yang telah dan akan kami lakukan dalam rangka kampanye tentang membangun hidup bersih dan sehat
Kurang lebih sebulan setelah aku mengirimkan karya sloganku, aku berangkat ke Jakarta. Suatu kebetulan yang bertubi – tubi, aku mendapatkan panggilan kerja pada sebuah perusahaan swasta di daerah Roxy. Aku bekerja sebagai expedisi alias tukang antar barang, (bahasa trendnya kurir,). Ketika sudah sekitar tiga minggu dan bekalku telah menipis, ternyata saat tak sengaja aku membuka e-mail, aku terpilih menjadi juaranya. Kontan saja temen – temen di tempat kerja mulai tahu aku memenangkan lomba tersebut. Awalnya sih hanya satu orang yang tahu tapi dasar lidah tak ber kelu pada akhirnya menyebar juga cerita tersebut seperti wabah menginfeksi suatu koloni.
Tapi ternyata tidak rugi juga, berkat kemenangan dalam lomba slogan tersebut, ada temen yang menjadi security rupa–rupanya mulai malu buang sampah sembarangan. Entah karena aku atau sadar akan tulisan slogan yang ada pada kaos yang aku kenakan. Dia juga mulai menanyakan seputar kepedulianku akan sampah. Agaknya usahaku tidak sia–sia tentang kepedulian terhadap lingkungan sekitar. Meski masih sangat jauh dan belum sempurna, kerja kerasku telah membuat orang lain yang mulai nyadar akan kebersihan. Untuk pribadiku sendiri, aku begitu antusias; apalagi karya sloganku di jadikan syarat untuk lomba jingle, semakin membuat aku lebih peduli terhadap lingkungan untuk menuju sehat dan bermanfaat.
Ada perubahan dalam kepedulianku tehadap lingkungan, kini aku lebih hati–hati untuk membuang sampah terkecil sekalipun dan lebih “memanusiawikan” sampah. Disaat aku melihat sampah berserakan dan tidak berada pada tempatnya, aku merasakan rintihan sang sampah penuh kesedihan karena berharap berada dalam tempatnya dan berada pada kelompoknya.
Ide slogan ini aku dapatkan ketika beberapa tahun yang lalu di kota pemalang dan sejalan dengan riset yang aku lakukan hingga sekarang. Aku terinspirasi oleh paraPetugas Kebersihan”Pejuang Sampah”. Mereka dimalam hari dengan angin malam yang sangat begitu mengganggu kesehatannya disaat orang lain tertidur dengan nyenyaknya. Mereka membersihkan sampah – sampah dijalanan, baik dikota metropolitan seperti Jakarta maupun di daerah. Apapun alasannya, mereka layak mendapatkan penghargaan yang sepantasnya.
Habis manis sepah dibuang?... …Sampah kaleee… yang dibuang…, itu sering terjadi dan sampai aku bosan melihatnya.Bukan sok bersih lho…,tapi memang, aku sering geram dengan orang yang suka buang sampah sembarangan. Apa lagi para manusia golongan kelas elite yang suka melempar sampah kertas /plastik dari dalam mobil. Sebenarnya mereka tak pantas melakukan hal demikian (bukan…?)...Seyogyanya mereka memberi teladan yang baik kepada yang lain khususnya orang–orang “pinggiran” untuk lebih menjaga lingkungan bersama. Tapi sutralah, kenapa harus di pusingkan oleh mereka?...whatever dengan tingkah mereka. Aku tak peduli, yang penting bagaimana aku agar tetap menjaga kepedulianku akan lingkungan terutama dalam hal kebersihan.
Banyak kisah yang aku dapatkan ketika melakukan riset untuk slogan ini, aku terinspirasi oleh pepatah kuno sekaligus kejadian didepanku semenjak aku terfokus dengan lomba slogan ini.Aku sering mendatangi tempat–tempat kumuh dimanapun aku melintasi daerah dengan “si kumbang biru”(sepeda motorku) khususnya di kota kecil Pemalang.Habis manis sampah dibuang?... mending didaur ulang,…sebenarnya tak ada hubungannya dengan kalimat terakhir sih, mulanya hanya kalimat awal saja yang terlintas di otakku, itupun terjadi oleh khayalanku/ halusinasi (kata theh melly sih intuisi namanya) yang membayangkan suatu perilaku yang “sakit”dengan membuang sampah sembarangan.
Dan Khayalan ini bersambut oleh seorang bocah yang tiba –tiba mengambil sampah tersebut dengan penuh ketulusan.Tapi yang menjadi pusat perhatianku bukan dari tingkah dua perilaku ini,tetapi lebih ke obyek (shotnya adalah sampah).Aku dapat menangkap rintihan dari “sosok sampah”tersebut begitu memelas. Ia sedih, ia menangis,berada di sembarang tempat, tertiup angin kesana – kemari, jika yang ber bau busuk pasti akan sangat mengganggu sekitar, nalurinya berkata ingin diperlakukan selayaknya. Artinya ingin ditempatkan pada tempat yang semestinya(to the point deh,tempat sampah buu…).
Memanusiawikan sampah lebih berarti memberikan sampah pada tempatnya baik memilah, memilih dan mendaur ulang. Kata yang sering kita pakai dalam dunia persampahan yaitu membuang agaknya terlalu kejam kedengarannya. Alangkah indahnya jika kita dapat memanusiawikan sampah, niscaya kita dapat hidup berdampingan dengan sampah tanpa harus kumuh dan berbau busuk. Sampah juga punya naluri, ingin diperlakukan sama, dan berharap ingin dimanfaatkan kembali. Aku merasakan ini begitu tulus, sampai saat ini pun jika melihat sampahku berserakan dan melihat perilaku “sakit”batinku ikut merasakan kesedihan sang sampah.”Habis manis sampah dibuang?...jangan sayang,mending didaur ulang…,
Aku hanya bisa mengucapkan terima kasih yang setulusnya kepada teman – teman yang telah dengan sadar diri menempatkan sampah pada tempat yang sepantasnya.Untukmu sampahku…,jangan berhenti berharap untuk dimanusiawikan ya,…Kiranya cerita ini dapat menjadikan inspirasi bagi semua yang menginginkan lingkungan menjadi bersih dan sehat serta memberi semangat dalam menjaga dan melestarikan lingkungan sehat.Buat para”pejuang sampah”,ayo! Maju terus! Jaga lingkungan dengan tulus!MERDEKA!
Dengan Hormat,
Sebelumnya saya ucapkan Terima kasih kepada para dewan juri yang terhormat , Bapak Arswendo Atmowiloto dan mbak Ayu Utami yang telah memilih karya slogan saya sebagai pemenang dan mendapatkan juara ke – 2,dan Terima kasih yang tak terhingga kepada Allah swt yang telah memberikan“tetesan embun”ke dalam otak hamba,yang di dalamnya terdapat berjuta bahkan milyaran ide kreatif yang begitu luar biasa namun hanya baru sangat sedikit yang dapat hamba tuangkan,semoga dengan kemenangan ajang lomba slogan ini menjadikan awal untuk lebih berkarya dan menjadi inspirasi dalam cipta karya khususnya dalam dunia karya”tulis”.Tak terlupakan terima kasihku teruntuk my mom,… … adalah “matahariku”yang selalu mengiringi doa,kasih sayang dan segenap ketulusan dalam setiap derap langkahku yang tanpa mengharap… …,Seperti mentari yang begitu tulus memberikan sinarnya untuk semua planet di jajaran tatasuryanya.
Dedikasiku untuk para “Pejuang Sampah”yang begitu perkasa memungut,mengambil sampai memisahkan dengan berjuta aroma kebusukan dan kebangkain yang menusuk hidungnya namun tetep keukeuh,serta “memanusiawikan sampah – sampahnya”agar lingkungan tetap terjaga,bersih,segar dan tetap bermanfaat (mendaur ulang) kembali bagi lingkungannya.”Terima kasih… … sampahku,karenamu kini aku lebih memanusiawikanmu,… … Aku merasakan engkau menangis saat engkau di buang sembarangan,… … dan engkau selayaknya didaur ulang.
HABIS MANIS SAMPAH DIBUANG?...MENDING DI DAUR ULANG.
Slogan ini terinspirasi ketika di sebuah tabloid mingguan Peluang kerja terpampang sebuah kolom lomba slogan yang begitu aku membacanya langsung tertarik ingin mengikuti ajang lomba tersebut, langsung saja aku ke www.berkahsampah.blogspot.com. Bukan hal yang baru sebenarnya dunia tulis menulis meski memang belum sangat mahir dan masih jauh untuk merangkai kata – kata, tetapi dunia menulis ini sangat ingin aku geluti, entah sebisa apa aku dapat menuangkan ide –ide apapun kedalam tulisan. Sampai detik ini pun aku begitu ingin menjadi penulis seperti para dewan juri yang memang notabennya adalah penulis – penulis hebat sekaligus sutradara yang karya – karyanya begitu familiyar di ranah pertelevisian tanah air.
Ada motifasi tersendiri kenapa aku ikutan lomba slogan ini,berkaitan dengan Bapak Arswendo,saya begitu mengagumi karya – karya serial televisinya dari “keluarga cemara,satu kakak tujuh keponakan sampai kenapa harus inul dan masih banyak lagi.Tersimpan sebuah kenangan yang tak mungkin terlupakan,… …ketika itu lebih kurang di tahun 2000 saat pertama aku mengenal beliau dihalaman hotel Acacia salemba. Mungkin ketika itu beliau tengah “berpetualang” mencari inspirasi untuk sebuah karyanya.Pandanganku sangat yakin kalau beliau adalah Bapak Arswendo meski topi bundar,kaos merah dan celana coklat yang Nampak kelihatan’maaf’ kucel dan disamarkan dengan tas hitam, tapi aku sangat yakin bahwa beliau adalah Bapak Arswendo.Tak menyia – nyiakan kesempatan tersebut,aku langsung menghampirinya.Meski hanya sebentar,namun aku begitu bangga telah mengenal dan berjabat tangan dengan beliau,ada sesuatu getar lain yang aku rasakan sesudahnya,aku merasakan seolah – olah ada kemistri diantara kita.Meski perjumpaan yang singkat namun aku yakin suatu saat nanti akan bertemu kembali dengan beliau.Seiring waktu ternyata benar,pertemuan kembali terjadi,hingga sampai pada pertemuan yang ke – 3.Dan yang ke – 4 ini,sungguh sangat mengejutkan,meski pada acara Green festival Lomba slogan “Taruh sampah jadikan berkah” di parker timur senayan aku tidak menghadirinya namun aku yakin suatu saat nanti aku akan bertemu dengan beliau dalam kesempatan yang lain,dan aku yakin itu akan luar biasa.Akupun tak menyangka jika aku akan mendapat juara ke – 2 lomba ini.
Begitu juga dengan mba Ayu utami,jika ada kesempatan yang lain dan keberuntungan berpihak padaku lagi,aku ingin mengenalnya lebih dekat lagi.Aku juga ingin seperti anda mba?... …
Banyak alasan dan cerita yang membuat aku mengikuti lomba slogan ini. Sudah jelas,alasan pertama adalah selain aku memang menyukai dunia tulis menulis, dewan jurinya juga membuat aku begitu bersemangat,(khusus untuk Bapak Arswendo,saya akan menceritakan kisah diatas kepada anda jika bertemu nanti).Tunggu kedatanganku ya Pak?... …he…
Yang terakhir untuk Panitia lomba (Gerakan Hidup Bersih Dan Sehat) Terima kasih dengan diadakannya lomba slogan ini semoga dapat menggugah masyrakat untuk lebih peduli terhadap lingkungannya.
(Catatan:Foto-foto ini adalah kiriman penulis yang prihatin dengan rusaknya lingkungan di dataran tinggi Dieng yang sudah menjadi gersang)
Ketertarikan saya untuk berpartisipasi pada lomba slogan tidak semata karena hadiah, meskipun hadiah uang dapat dikatakan cukup besar untuk lomba slogan. Namun lebih dari itu, saya melihat adanya upaya yang sangat sederhana namun cukup mengena dalam hal meningkatkan awareness masyarakat akan pentingnya pengelolaan sampah. Barangkali setiap orang tidak akan pernah lupa, bahwa pelajaran peduli lingkungan yang selalu ditanamkan sejak dini dari dulu adalah ”jangan membuang sampah sembarangan”, ”buanglah sampah pada tempatnya”, atau ”kebersihan sebagian dari iman”. Tapi apakah ungkapan-ungkapan seperti tersebut sudah diimplementasikan secara nyata dalam kehidupan kita sehari-hari??tentunya hanya diri kita masing-masing yang tahu jawabannya.
Usaha sederhana untuk hasil yang nyata, barangkali ini bisa dijadikan ungkapan yang tepat untuk menggambarkan alasan saya ambil bagian dalam lomba slogan. Meski saya bukan orang yang ”sangat” memperhatikan masalah sampah, dan kadang-kadang khilaf masih saya lakukan dengan tak mempedulikan sampah disekitar, namun saya berharap melalui dengan slogan dapat memberikan kontribusi pada masalah penanganan sampah. Dan harapan saya tentunya slogan tak hanya sekedar kata-kata pemanis di area publik misalnya, namun dapat menjadi hal yang menarik buat orang-orang termasuk saya sendiri untuk lebih memperhatikan masalah sampah. Saya tidak memungkiri, bahwa hadiah yang disediakan cukup menarik, meski untuk itu saya benar-benar nothing to lose, bahkan saya sendiri sempat lupa bahwa saya jadi partisipan dalam lomba slogan.
Proses dalam penciptaan slogan juga bukan sesuatu yang istimewa. Sampahku...Cermin Gaya Hidupku!, saya pilih sebagai slogan karena alasan sederhana. Saya memandang bahwa perlakuan seseorang terhadap sampah dapat mencerminkan gaya hidup seseorang. Kepedulian seseorang pada sampah yang ada di lingkungannya, sangat mencitrakan kepribadian orang tersebut. Orang yang perhatian dengan mengelola sampah yang ada disekitarnya, (meskipun tidak mutlak) dapat digambarkan bahwa dia adalah pribadi yang peduli dengan lingkungan hidupnya secara umum. Terangkainya kata-kata di atas menjadi slogan timbul secara spontan, bukan sesuatu yang dihasilkan dari riset, study atau setidaknya perenungan. Saya hanya mencari kata-kata sederhana yang mudah diingat namun mampu membangkitkan kepedulian pembacanya.
Memperhatikan perilaku masyarakat saat ini, (saya juga termasuk didalamnya) menjadi sesuatu yang begitu miris. Saat ini bukan hal yang sulit menemukan kata-kata ”Stop Global Warming”, ”Save Our Earth” atau banyak lagi ungkapan yang bertujuan memicu kepedulian masyarakat terhadap kondisi lingkungan hidup yang makin memprihatinkan. Namun, dalam kenyataannya masih banyak hal-hal yang tentunya lebih bijak kalau dilakukan secara nyata dalam upaya menyelamatkan nasib bumi. Meskipun terkesan bombastis, namun untuk sesuatu yang baik saya beranggapan kita butuh obsesi yang tinggi. Tentunya untuk mewujudkan obsesi yang terkesan bombastis tadi, kita dapat melakukannya dengan aksi-aksi sederhana diantaranya dengan pengelolaan sampah yang baik, pemanfaatan sampah yang dapat didaur ulang, dan mengurangi pemakaian kebutuhan yang berpotensi menambah kuantitas maupun kualitas sampah yang tidak dapat didaur ulang.
Saya ingin menyampaikan pesan singkat dengan slogan saya di atas, bahwa kita patut menjadikan sampah sebagai cerminan gaya hidup. Perlakuan yang baik terhadap sampah akan mencerminkan gaya hidup dan kepribadian kita sebagai pribadi-pribadi yang peduli nasib dan kelangsungan alam sekitar. Setelah terlibat dalam proses kreatif penciptaan slogan, saya merasa perlu untuk secara pribadi mawas diri bahwa saya bukan orang yang dengan baik juga memperhatikan sampah. Namun saya berkeinginan lomba slogan dan peringatan Hari Bumi 22 April lalu, dapat menjadi momentum bagi berbagai pihak yang peduli pada kelangsungan hidup lingkungannya untuk semakin meningkatkan upaya-upaya nyata dalam melestarikan lingkungan sebagai faktor utama pendukung kelangsungan hidup manusia.
Selamat Hari Bumi 22 April 2008.
Ali Nugroho
Jakarta, 23 April 2008
Lomba Slogan telah dimulai sejak 1 Februari sampai dengan 31 Maret 2008. Sosialisasi lomba dimulai dengan konferensi pers dilanjutkan dengan email, milis dan blog serta poster. Ternyata melihat penyebarannya yang paling efektif masih melalui email, sedangkan terbanyak peserta mengirimkan karya slogan dengan SMS .
Sampai di hari penutupan telah diterima 3,500 buah slogan yang dikirimkan oleh 795 peserta. Mereka datang dari 21 kota di Indonesia bahkan ada juga peserta dari thailand malaysia . Diantaranya ada empat orang usia SD dan bahkan seorang nenek berusia 70 tahun ikut berkontribusi. Bahkan ada dua peserta tunarungu ikut menanggapi lomba slogan ini. Begitu bersemangatnya peserta sehingga mereka mengirim lebih dari satu slogan, rekor terbesar dikirim seorang peserta yaitu sebanyak 52 buah.
Akhirnya dewan yuri yang terdiri dari Arswendo Atmowiloto, Ayu Utami, Bintang Nugroho berhasil menentukan pemenangnya. SELAMAT KEPADA PARA PEMENANG, mari kita sosialisasikan dengan berbagai cara agar semakin banyak anggota masyarakat, tua-muda, berbagai kalangan yang semakin peduli dengan sampah dalam kehidupan sehari-harinya.
JUARA PERTAMA Fitrawan Umar - Pinrang Sulawesi Selatan | TEMPAT SAMPAH BELUM KETEMU? KANTONGI AJA DULU! |
JUARA KEDUA | Habis manis, sampah dibuang? Mending Didaur ulang. |
JUARA KETIGA Luh De Suriyani Denpasar | Mengolah Sampah, ya Nggak Masalah |
JUARA HARAPAN 1 Ali Nugroho - | Sampahku.Cermin Gaya Hidupku! |
JUARA HARAPAN 2 Geraldine Maria T. S. | Kurangi sampah, kurangi masalah. |
JUARA HARAPAN 3 Ella Syafputri -Bekasi | Naik mobil mewah kok nyampah? |
JUARA HARAPAN 4 Sueb B. Idi Zakariya Jakarta | Berhenti nyampah sebelum susah. |
JUARA HARAPAN 5 Caroline Noviany B. W. Cirebon | Lalat aja tau tempat sampah |
SLOGAN TERFAVORIT Amir Mahdi -Jakarta | Nenek-nenek naik jerapah, dari tulodong sampai sarinah. Hari gini masih nyampah, malu dong ah!! |
Pengantar Workshop Fotografi
Aula Kolese Kanisius, Jakarta, 12 April 2008
Kekuatan fotografi telah dimanfaatkan untuk berbagai hal, baik dengan maksud membangun maupun menghancurkan. Hal ini terjadi karena gambar punya power yang dapat mengubah perasaan, pemikiran, dan perilaku manusia. Contoh paling mudah adalah gambar porno yang dikhawatirkan bisa mengacaukan badan maupun pikiran. Baik anak-cucu maupun kakek-nenek. Tetapi, pada ekstrim lain, foto juga dapat mempengaruhi Tuhan. Bagaimana penjelasannya?
Sederhana. Foto bencana alam yang dahsyat misalnya, dapat membangkitkan peri kemanusiaan dan menumbuhkan rasa welas asih. Sebuah masyarakat yang semula garang dan tidak perduli bisa berubah menjadi pemurah dan baik hati. Tuhan yang semula jengkel pada masyarakat pendosa, bisa terharu dan berubah sayang kepada mereka. Padahal perubahan itu gara-gara sebuah foto yang sangat menyentuh.
Jadi sebuah foto dapat memperbaiki dunia, sekaligus membuat Tuhan menjadi gembira. Itulah kekuatan fotografi – The Power of Photography. Contoh lainnya banyak sekali. Ada foto bocah perempuan lari telanjang dengan latar belakang bom napalm yang sedang meledak. Foto itu membuat dunia marah dan benci pada perang Vietnam. Demikian juga foto-foto korban bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, rasanya susah lenyap dari ingatan manusia.
Foto meninggalkan bekas lama. Ada yang menyakitkan. Ada juga yang menggembirakan. Ada yang mengharukan, ada juga yang bikin marah dan geram. Kalau kita pandai memanfaatkan, fotografi dapat menjadi esai foto yang memperbaiki perilaku hidup kita. Lomba esai foto tentang berkah sampah diharapkan dapat menemukan foto-foto yang besar pengaruhnya.
Apakah Esai Foto?
Esai adalah pendapat yang obyektif tentang sebuah masalah. Bisa ditulis dalam bentuk karya ilmiah. Bisa juga dilaporkan dalam bentuk gambar dan film. Esai foto adalah uraian yang obyektif dan benar, dapat dipertanggung-jawabkan dalam bentuk foto. Tentu ada syarat-syarat umum yang harus dipenuhi. Pertama komunikatif. Kedua punya pesan yang jelas. Ketiga, sebisa mungkin estetis, mampu menyajikan keindahan. Sebuah esai foto yang bagus tidak hanya menyentuh hati, tapi bisa dipahami dan dipertangung-jawabkan.
Sebuah foto bermakna seribu kata. Jadi kalau ada 3 foto membentuk satu esai, maknanya tiga ribu kata. Misalnya kita ingin menampilkan esai foto tentang kemiskinan. Foto apakah yang harus ditampilkan? Anak kecil mengemis di perempatan jalan? Kaleng makanan yang kosong dan kotor? Rumah tua yang hampir rubuh? Semua bisa. Bahkan baju compang-camping dan cangkul usang dapat ditampilkan secara close-up.
Tetapi sebuah esai tentu lebih dari sekadar menampilkan fakta. Kita bisa memotret sebuah topi di atas meja. Kemudian diberi keterangan: Ini peci Bung Karno saat memproklamirkan Republik Indonesia. Tentu akan menarik bila di sebelahnya ada foto Ir. Soekarno memakai peci itu sedang menghormat merah-putih pada pagi 17 Agustus 1945. Tetapi kedua foto itu belum menjadi esai. Satu deret fakta baru menjadi esei kalau kita perkaya dengan pemikiran kita. Kisah foto peci ini akan menjadi esai kalau kita lengkapi dengan refleksi, atau pertanyaan, apakah hubungan peci dan Republik Indonesia.
Esai foto tentang sampah bisa menampilkan berbagai fakta. Ada kambing di tempat pembuangam akhir (TPA), ada kambing pasar, ada juga sate kambing. Kita menikmati produk sampah yang paling lezat kan?
Foto Jurnalisme
Apa bedanya foto esei, foto snap shot, foto seni, pas foto dan foto jurnalisme? Yang terakhir ini terkait langsung dengan peristiwa, atau jurnal. Foto jurnalisme merekam peristiwa yang dapat dipilih, diceritakan, karena menyangkut minat dan kepentingan banyak orang. Misalnya terkait dengan peristiwa politik, peristiwa olahraga, peristiwa budaya, atau kejadian luar biasa. Bisa bencana alam, kecelakaan, pertemuan yang jarang terjadi, dan peristiwa seremonial, ritual.
Sebuah gol di lapangan bola bisa menjadi berita besar. Fotonya akan disebarkan ke seluruh dunia. Apalagi kalau gol itu lahir dari perkumpulan sepak bola yang tidak diduga bisa mengalahkan juara dunia. Tentu, dengan catatan bidikan fotonya istimewa. Jelas, tajam dan komposisinya utuh. Tidak terpotong, tidak kabur, tidak terlalu gelap atau terlalu terang.
Foto jurnalisme yang bagus bisa menghibur, mengharukan, sangat mempesona dan menyenangkan. Sedangkan esai foto membuat kita berpikir, berpendapat, dan yang paling penting: mengubah cara pandang, bahkan peri-laku. Foto esai bisa terdiri dari foto jurnalisme, foto seni, dan pas foto biasa. Kalau kata-kata tidak mampu bicara biarlah gambar menjelaskan. Sedangkan kalau gambar dan tulisan sudah jelas, biarlah pikiran dan hati kita yang bicara.
Jurnalisme adalah isme (kepercayaan) bahwa manusia bisa bahagia kalau punya catatan harian (jurnal). Catatan harian itu bisa berupa huruf, angka, dan gambar. Foto jurnalisme memanfaatkan fotografi untuk melengkapi catatan mengenai berbagai kejadian di dalam masyarakat.
Tentu saja tidak semua hal bisa tercatat maupun terlukiskan. Kita harus memilih. Bisa hal yang paling penting, hal yang paling menentukan dan mempengaruhi jalannya hidup kita. Kalau ternyata peristiwa paling penting adalah mengangkat telpon di saat masih mengantuk, bisa saja itu menjadi peristiwa paling bersejarah, paling menentukan. Misalnya, gara-gara mengangkat telpon itu kita jadi terlibat peristiwa penculikan dan pembunuhan presiden. Atau gara-gara mengangkat telpon yang salah sambung itu kita mendapat jodoh yang sangat membahagiakan kita selamanya.
Foto jurnalisme memperkaya manusia dengan rincian detil dan tangkapan momen. Banyak hal yang terjadi sangat singkat, hanya dalam hitungan sepersekian detik. Tetapi karena tertangkap oleh lensa kamera, peristiwa yang paling super singkat pun dapat tergambar selamanya. Senyum yang hanya setengah detik pun menjadi abadi.
Tugas foto jurnalisme dalam menangkap dan mengabadikan kebenaran. Sedangkan tugas esai foto adalah membuat hati dan pikiran manusia berbicara. ***
Tukul Arwana, dengan ‘Empat Mata’-nya, telah mempopulerkan kata katro’, yang disejajarkan dengan kata kampungan atau ndeso. Sebenarnya, yang mau ditekankan oleh Tukul bukanlah asal-usul seseorang, melainkan perilaku yang tidak sesuai dengan tempat dan jaman. Mungkin saja orang buang air kecil di bawah pohon itu biasa jika itu dilakukan di hutan, tetapi tentu saja akan menjadi katro’ kalau hal itu dilakukan di bawah pohon di Jl. Sudirman,
Perilaku katro’ juga jelas tampak ketika orang sembarangan membuang sampah. Jika dilihat lebih dalam, perilaku seperti itu adalah bentuk ketidak-pedulian kita, baik terhadap alam maupun terhadap orang lain. Di tengah
GHBS (Gerakan Hidup Bersih dan Sehat) mau mengajak masyarakat
Perilaku yang cocok dengan kehidupan modern itu diharapkan menjadi sebuah kebiasaan sosial, yaitu perilaku yang dilakukan oleh banyak orang secara spontan, seperti misalnya berjalan di sebelah kiri, buang air kecil di toilet dan antre. Dalam proses pembentukan kebiasaan sosial ini, cerita-foto itu bisa dijadikan sarana kampanye yang efektif. Karena lomba ini untuk pelajar dan mahasiswa, yang diutamakan bukanlah kualitas fotonya, melainkan kesesuaian isi foto dengan tema dan tujuan, meski kualitas juga diperhitungkan.
Parameter Kemajuan Sosial
Jika dipahami bahwa dunia ini makin terbatas, dalam dimensi ruang maupun waktunya, tentulah habitus, sebagai sikap dan perilaku sosial, yang sesuai dengan keterbatasan itu menjadi sebuah keniscayaan. Tanpa habitus, yang ada adalah kekacauan. Kesemrawutan dan kemacetan lalu-lintas di Jakarta adalah salah satu cermin yang mencolok. Demikian pula dalam pembentukan habitus yang berkaitan dengan sampah: menaruh dan memilahnya dengan tepat.
Dapatlah dikatakan bahwa lahirnya habitus baru seharusnya seiring dengan perkembangan jaman. Itu pun berarti bahwa lahirnya habitus yang sesuai jaman, tidak katro’, adalah salah satu tolok ukur kemajuan sosial dari sebuah masyarakat. Dalam kaitan dengan sampah, ukuran ini lebih mendapatkan pendasarannya. Seperti dikatakan di atas, sampah adalah salah satu persoalan fundamental manusia. Tiadanya sikap, perilaku dan manajemen yang ‘modern’ terhadap sampah, mencerminkan sikap dan pandangan masyarakat itu terhadap hidup masing-masing individu dan terhadap hidup bersama. Jika perkara sampah yang sangat sederhana dan sehari-hari saja orang masih katro’, sulit dibayangkan bagaimana bidang kehidupan lain dalam kehidupan sosial bisa tertata dengan baik.
Dari paparan di atas pun cukup jelas bahwa lahirnya habitus adalah sebuah proyek bersama. Karena itu pula, tak berlebihanlah kalau dikatakan bahwa habitus adalah parameter kemajuan hidup bersama Seluruh poros kehidupan sosial masyarakat terlibat di dalamnya.. Pembentukan habitus, yang lebih bersifat evolutif daripada revolutif, memang akan dijalankan pertama-tama oleh masyarakat warga, tetapi jelas bukan hanya tanggung-jawab pada tokoh agama, misalnya, karena habitus bukan sekedar kesadaran. Kesadaran penting, tetapi harus didukung oleh pendekatan yang lebih bersifat struktural dan juga ‘ekonomis.’ Tanpa pihak pemerintah (poros negara) membuat aturan atau hukum dan juga tegas menjalankannya, habitus akan sangat sulit terlahir. Demikian pun, para pemilik modal (poros pasar), perlu ikut berperan aktif, baik dengan menyediakan sarana-prasarana maupun dengan lebih mengatur ‘produk’ sampahnya.
Akhirnya, dari paparan di atas pula, apa yang bisa dijawab atas pertanyaan di awal tulisan ini: mengapa perilaku orang dalam kaitan dengan sampah bisa berbeda-beda? Jika berpijak pada kesimpulan bahwa individu manusia pada dasarnya adalah egosentris, malas, tidak mau repot dan pelupa, faktor struktur kehidupan sosial yang dibuat untuk melengkapi kekurangan manusia itu menjadi sangat menentukan. Dengan kata lain, jika bercermin dari masih katro’-nya sikap dan perilaku kita terhadap sampah, tiadanya struktur yang mendukung lahirnya habitus yang baik dalam kaitan dengan sampah bisa dipersalahkan. Ujung-ujungnya, kita memang bisa menunjukkan telunjuk pada kurangnya visi kepemimpinan dalam masyarakat. Meski begitu, karena habitus adalah perilaku individu, setiap warga masyarakat pun tidak luput dari tanggung-jawab. Tanpa keterlibatan semua pihak, yang dipandu oleh pemimpin yang visioner, bangsa ini akan tetap menjadi bangsa katro’! ***
Arti Penting Rekayasa Sosial
Dari uraian di atas, makin jelas bahwa kebiasaan katro’ atau kebiasaan negatif tidak bisa dikategorikan sebagai habitus. Jika kita perhatikan, habitus senantiasa mengandung dimensi sosial atau kebersamaan hidup yang kental. Dalam kasus kebiasaan katro’, hal itu tidak tampak, atau malah sebaliknya. Jika nyampah dijadikan contoh, meski hal ini dilakukan oleh banyak orang, motivasi yang mendasarinya adalah kepentingan diri, bukan kepentingan bersama. Pun, secara implisit dikatakan bahwa habitus dibentuk dengan pembelajaran yang lama. Dalam hal ini, kebiasaan nyampah tidak memerlukan pembelajaran yang lama. Spontanitas manusia adalah spontanitas tidak mau repot. Sementara itu, habitus pada awalnya dijalankan dengan keterpaksaan dan pengorbanan.
Persis di sinilah perubahan sosial yang akan berujung pada pembentukan habitus memerlukan sebuah rekayasa sosial. Ketiga kelemahan dasar manusia yang telah disebut di atas menjadi alasan mendasar dari pentingnya rekayasa sosial ini. Dengan kata lain, rekayasa sosial adalah keniscayaan, adalah conditio sine qua non. Dalam hal ini, rekayasa sosial tidak harus berarti negatif. Rekayasa sosial yang hampir selalu bersifat struktural adalah sarana bantu manusia untuk mengisi kekurangannya. Lembaga persekolahan, sebagai contoh, adalah sebuah rekayasa sosial, supaya orang mau (meski mula-mula terpaksa) untuk belajar. Pada dasarnya manusia itu malas. Hanya sedikit sekali yang bisa otodidak. Kelemahan dasar manusia itulah yang mau ’ditutup’ atau dilengkapi oleh struktur.
Dalam kasus nyampah, dari uraian di atas menjadi jelas bahwa tulisan-tulisan peringatan atau himbauan untuk tidak membuang sampah sembarangan tidaklah mencukupi untuk mengubah perilaku atau kebiasaan negatif itu. Tulisan peringatan hanya bersentuhan dengan satu sisi kelemahan manusia: pelupa. Masih ada dua lubang kelemahan lain, yaitu ego-sentrisme dan kemalasan. Berkaitan dengan ego-sentrisme, suatu bentuk pemaksaan, baik melalui struktur yang kelihatan (satpam/polisi, aparat kebersihan, dll.) maupun yang tak kelihatan (hukum/aturan), menjadi sarana formatif agar orang meminimalkan sifat ego-sentrismenya.[1) Kemudian, berkaitan dengan kemalasan, penciptaan sarana dan prasarana penunjang menjadi penting. Disediakannya tempat-tempat sampah yang lebih banyak jelas akan mengurangi kerepotan orang. Orang akan lebih mudah mengatasi kemalasannya. Selain itu, dalam prinsip Pavlov, metode ’stick’ ini pun bisa dilengkapi dengan metode ’carrot.’ Insentif yang diberikan pada orang-orang yang mampu melakukan habitus baru dari orang lain atau dari pemerintah tentu akan memperlancar pembentukan habitus itu.
Yang kemudian menjadi pertanyaan adalah apakah struktur yang ada tidak mencukupi bagi lahirnya habitus-habitus yang lebih memperlancar hidup bersama? Disini pulalah salah satu masalahnya. Struktur memang ada. Tanpa struktur masyarakat hidup dalam anarkhi. Hanya saja, tampaknya struktur itu lebih banyak berpihak pada kepentingan sebagian anggota masyarakat saja. Dengan kata lain, sebagian masyarakat lain, lebih-lebih orang kebanyakan dan orang kecil, tidak cukup tersapa oleh struktur yang ada. Mereka yang di-cuèk-i oleh struktur, sehingga mereka pun tak jarang menjadi cenderung cuèk terhadap orang lain atau kepentingan bersama. Selain itu, yang juga kerap terjadi adalah bahwa struktur tidak cukup mudah mengakomodasi inisiatif warga. Tak jarang pula inisiatif warga tergilas oleh struktur yang dipegang secara kaku oleh para birokrat. Bisa dipahami kalau kemudian terjadi yang namanya cuèk-isme sosial!
-----------
Catatan kaki:
1) Dalam hal ini, paham hukum sebagai sarana rekayasa sosial (a tool of social engineering), suatu konsep yang sering dilekatkan pada pemikir bernama Roscoe Pound, bisa dipahami, dengan catatan bahwa kata ‘rekayasa’ harus dimengerti dalam arti yang positif, atau setidaknya netral. Bias pemahaman yang cenderung negatif karena pengalaman di masa lalu tentu tetap perlu diperhatikan.